Preskonferen yang digelar oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Kamis 30 Juli 2015, tentang penyampaian laporan kinerja LPSK periode Januari-Juli 2015. Dari 8 bidang tindak pidana diantaranya kasus HAM, Korupsi, Teroris, Narkoba. Menjadi menarik karena ada bidang tindak pidana tambahan LPSK yaitu kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dan diharapkan dari jumlah 27Â kasus anak yang dilaporkan kepada LPSK dapat ditangani dengan baik.
Dalam kesempatan ini, LPSK mengundang Satgas PA untuk menyampaikan beberapa pokok pikiran dan temuan lapangan dalam mendampingi kasus anak. Satgas PA menyampaikan tren dan modus kekerasan terhadap anak dilengkapi dengan data dari penanganan Satgas PA langsung dan merangkum data yang di release jaringan secara umum.
Kasus kekerasan yang dialami anak Indonesia berawal dari identitas anak yang tidak dimiliki anak karena banyak faktor. Tiadanya hak identitas pada anak membuat banyaknya peluang tindak kekerasan terjadi pada anak. Seperti dibeberapa wilayah banyaknya anak terlantar karena sedari awal orang tua tidak memiliki surat nikah. Yang akhirnya banyak potensi konflik didalamnya. Yang berakhir anak menjadi korban terlantar, hidup nomaden, perpindahan anak, menjadipengungsian dan berakhir pada pemanfaatan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Dan disinilah lingkaran akar kekerasan anak itu terjadi.
Bila dibandingkan dengan Korea Selatan yang baru meresmikan UU Perlindungan Anak di tahun 2014 sudah massif dampak positif dengan dikeluarkannya aturan tersebut, Hal ini terjadi karena pemerintah bertanggung jawab dan memfasilitasi lembaga perlindungan anak berbasis masyarakat, sehingga penanganan kasus mencapai 43% dari 300 kasus yang ada. Bila dibandingkan dengan Indonesia yang telah memiliki UU PA sejak tahun 2002 permasalahan anak seakan tidak pernah berhenti, malah cenderung meningkat hingga mencapai 3000 an kasus setiap tahunnya,
Dengan jumlah populasi jumlah anak Indonesia 83 juta pada tahun 2010 dan diprediksi bertambah 1 juta kelahiran anak setiap tahunnya, Tentu sangat membutuhkan sistem perlindungan anak yang lebih tepat. Untuk itu kita tidak dapat bekerja sepihak melainkan harus berjejaring dalam penanganan kasus dalam memberikan pelayanan. Peran yang harus dijalankan oleh negara, pemerintah pusat dan daerah, lembaga negara, masyarakat dan orang tua.
Kerja kita tidak sedikit, tantangan kita berat karena anak Indonesia berada diberbagai pulau dengan keragamannya perlu kebijakan, kearifan lokal, dan perspektif orang dewasa dalam membangun sistem perlindungan anak secara komperhensif. Penanganan kasus anak harus diselesaikan dengan perspektif anak dengan tetap mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak agar tumbuh kembang dan pemenuhan hak anak, dapat terwujud dan terpenuhi.