Berbagai perhelatan acara yang melibatkan anak anak, seringkali berakhir protes para orang tua, bahkan menjadi singgung dendam antar anak. Konflik itu bisa bermula hanya karena senggol senggolan, padahal tidak kenal, atau konflik sepanjang jaman bagi anak. Akhirnya hal tersebut juga diikuti teman temannya, menjadi stigma.
Seperti di perayaan Hari Anak Nasional 2022, banyak sesuatu yang di tawarkan kepada anak, dan menjadi daya tarik, bahkan mereka rela berdesak desakan, terinjak injak, senggol senggolan dengan temannya, bahkan bernada keras. Saya pernah melihat situasi anak sikut sikutan karena ingin mendapatkan souvenir dari panitia.
Pengalaman seperti ini, sering kita lihat pada acara acara, ketika panitia membagikan makanan, snack, hadiah. Ada juga saling berebut ini terjadi ketika nonton konser, nonton pertandingan olahraga, atau minta berfoto selfie karena ada artis atau public figure atau pejabat. Semua pembagian yang sangat menarik, untuk anak anak segera meraihnya
Untuk itu salah satu SOP penting bagi panitia yang melibatkan anak, penting menghindari itu. Tapi juga tidak menyebabkan anak anak berada dalam situasi formal, atau aturan yang sangat ketat. Sehingga mereka merasa bete, jenuh, bosan bahkan menyerang psikologis karena merasa terancam bila tidak mengikuti.
KBAI pernah melihat contoh baik, ketika anak anak berebut minta foto. Panitia langsung mengkondisikan anak sebelumnya. Anak anak berada dalam satu barisan mengalir, dan panitia menyiapkan bebereapa fotografer, dan memberi informasi link untuk mengambil hasil gambar melalui internet. Yang berakhir tidak ada anak yang tidak memiliki figure idolanya. Budaya tertib dan proses sampai menerima foto, telah menjadi pelajaran bermakna yang di nikmati anak anak. Mereka selesai acara banyak yang men tag panitia, hanya untuk sekedar mengucapkan terima kasih.
Cara seperti ini bisa menjadi contoh, untuk berabgai kegiatan. Bahwa sangat baik, kita yang mendekat ke anak, bukan mereka. Agar aman. Karena anak secara fisik mudah di kuasai, daya pahamnya mudah dibelokkan, secara emosi masih sangat butuh pendampingan. Begitu juga antar mereka atau sebaya, membutuhkan partisipasi bermakna dalam setiap aktifitasnya. Agar mereka di kenalkan budaya tertib dan bisa merasakan prosesnya, sehingga mereka sendiri yang berucap, ini lah budaya tertib, ini gue banget.