Senin 27/7/2015 Rita Pranawati Komisioner KPAI menagih janji pemerintah yang sudah jatuh tempo kemarin, pasalnya UU SPPA yang seharusnya sudah memiliki 4 Peraturan Pemerintah dan 2 Peraturan Presiden . Padahal data 2013 ke 2014 KPAI mencatat kenaikan angka kekerasan anak naik 100 persen. Tentunya ini menjadi keprihatinan, kita berharap ada janji pemerintah yang bisa kita pegang 3 bulan ke depan. Ketidak hadiran aturan pelaksanaan dari Undang Undang ini mengancam APH dalam melaksanakan tugas. Meski diyakini Rita kehadiran UU SPPA juga memberi dampak positif pada perlakukan anak berhadapan dengan hukum. Namun bila tidak dilengkapi dapat berdampak buruk pada kinerja APH. Contoh Kasus Anak di Nias menjadi pelajaran kita semua.
Begitu juga pendapat Lana Teresa dari Criminal Defence Lawyer LBH. Satu tahun sejak diberlakukannya UU SPPA sampai hari ini pemerintah belum negeluarkan PP nya. Kita yang setiap hari mendampingi anak di persidangan menghadapi langsung bagaimana sulitnya anak anak ketika tidak dapat proses diversi, belum lagi SDM dari Pembimbing Kemasyarakatan dalam memahami mulai proses diversi sampai integrasi.
Dan ini diperberat anggapan masyarakat dalam proses diversi yang lebih dipahami sebagai proses ganti rugi. Bayangkan saja perkelahian ringan antar anak kasusnya naik terus sampai putus di tingkat kejaksaan dengan meminta ganti kerugian 50 juta. Ini sangat tidak rasional. Padahal baik korban atau pelaku masih bisa beraktifitas seperti biasa. Budaya masyarakat, budaya APH kita masih lebih menitik beratkan pada ganti rugi. Misal biaya rumah sakit dari korban yang harus dibayar pelaku kemudian kasus selesai. Akhirnya tujuan dari diversi membangun kembali restorasi hubungan keluarga korban dan pelaku sering terlewat begitu saja. Padahal makna diversi itu bertujuan merestorasi hubungan korban dan pelaku. Namun diakui Lana sejak UU SPPA banyak APH mulai belajar menerapkan dan ini berdampak anak sebagai pelaku menurun drastis di persidangan.
Sering juga jadi terbalik kasus yang harusnya diversi malah di SP3 oleh APH. Jadi peroses diversinya tidak sesuai dengan UU. Karena tidak ada proses mediasi korban dan pelaku, pembimbing kemasyarakatan tidak ada dan orang tua tidak ada, akhirnya sekedar formalitas memenuhi persyaratan. Dan dampaknya kasus bisa terulang kembali.
Mall administrasi juga masih terjadi pada kasus anak yang diperlakukan seperti orang dewasa, karena hanya sekedar melihat tinggi dan fisik anak. Akibatnya trauma bukannya hilang malah memperburuk kondisi anak.
Pengalaman Ena nurjanah sebagai Ketua P2TP2A Depok banyak pendampingan APH dari tingkat penyidikan sampai pengadilan bahkan lapas sering kurang memahami inti dari kehadiran UU SPPA ini. Hal ini juga disebabkan tidak adanya aturan pelaksanaan Diversi sehingga APH sering disalahkan oleh masyarakat. Contoh kasus menjalankan proses diversi anak sudah 12 tahun diterapkan hukuman 7 tahun, ada juga antara anak dengan anak berbuat asusila dihukum 15 tahun penjara. Masih saja dijumpai para hakim yang bertoga dalam persidangan. .
Pernah kejadian di ruang persidangan ada anak umur 8 tahun menyaksikan persidangan. Akhirnya anak tersebut tegang sendiri menyaksikan persidangan yang sedang meneliti perbuatan asusila, karena pertanyaan yang detail dipersidangan mengakibatkan anak yang menyaksikan guncang.
Ilma Sovri Yanti Kepala Sekretariat SATGAS PA menyatakan tidak adanya upaya aturan turunan UU SPPA menyebabkan banyak anak terancam di dalam persidangan dan jika menghadapi permasalahan. Seperti ada upaya pembiaran dan terkesan belum care melihat kondisi anak indonesia. Kami mendesak negara menjalankan fungsi dan peranya pemerintah untuk turunan teknis agar sistem peradilan pidana anak dengan sempurna
Untuk kasus kasus anak ABH menjadi korban atau saks atau pelakui, Kemensos punya tanggung jawab dalam melaksanakan rehabilitasi sampai ada pengalihan pengasuhan yang tetap. Dan itupun dilaksanakan melalui penetapan pengadilan.