Trafik media mainstream saat ini sangat tinggi memberitakan kebiri kimia yang dijatuhkan hakim pada perbuatan mengerikan pelaku pada 9 anak di Jawa Timur. Kenapa mengerikan? Itu informasi yang jarang ‘pembaca cepat’ tahu, tentang bukti hukum yang dipegang Hakim.
Disisi lain semangat mengecam takkan pernah cukup, ketika pencegahan tidak dilakukan. Upaya keras menggolkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diyakini mampu secara substansi menjawab kondisi aktual untuk mencegah perilaku kejahatan seksual. Dan pengebirian adalah pilihan bukan satu satunya penghukuman yang tepat. Karena diyakini permasalahannya adalah isi kepala pelaku, karena meski di kebiri, kenyataannya perilaku seksual menyimpang realitanya tetap ada.
Perhatian internasional dan para pegiat HAM sedang tertuju ke indonesia yang pertama kalinya keputusan kejahatan seksual menetapkan aturan kebiri kimia, pada pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Yang mau tak mau pemerintah Indonesia harus punya jawaban yang tepat soal ini, meski sudah menjadi putusan hakim.
Meski berbeda pendapat dalam penetapan kebiri menjadi hukuman, namun konsen dan kengerian kejahatan seksual memang jadi perhatian bersama.
Bahkan sampai berita ini ditulis, KBAI baru saja dikabarkan fasilitator anak yang sedang menfasilitasi para orang tua di wilayah Jakarta Timur yang mengadukan perilaku guru agama yang telah melakukan trauma akibat perilaku kejahatan seksual kepada 7 siswi yang menuntut ilmu padanya.
Yang kemudian disepakati pemulihan korban menggunakan sejumlah bayaran kepada para korban yang akan ditempuh pelaku dengan catatan tidak ada tuntutan keluarga korban. Yang menyebabkan kekecewaan fasilitator anak.
Lalu bagaimana penanganan korban? Pengalaman penanganan korban memang tidak bisa dianggap sepele. Karena pengalaman testimoni para korban, menyatakan pentingnya perhatian para korban di sepanjang hidupnya. Akibat dampak stress yang naik turun dan bisa berdampak pada penyebab ikutannya di perjalanan hidup para korban. Bisa dampaknya rentan, kritis bahkan fatal dampak ikutannya.
Negara sendiri dalam mengukur dan menjamin kondisi korban dianggap jauh dari harapan. Karena anggaran yang sangat besar dalam pendampingan para korban.
Untuk itu kerja panjang penanganan korban mensyaratkan kerja lintas Kementerian, Lembaga dan masyarakat, dalam rangka respon bersama kondisi korban. Hanya saja aturan lintas penanganan rehabilitasi korban tersebut belum ada payung hukum bersama. Siapa yang akan berinisiatif melakukan ini?