#RefleksiKBAI #HariMerdeka #HariBerkurban
Pendidikan untuk menang sering kita jadikan esensi kehidupan kepada anak anak kita. Itu tidak salah, karena anak butuh dipicu stimulan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Nak, kamu harus rangking 1 ya,. Ayok kamu pasti bisa juara 1. Kamu harus menang. Ayuk kamu bisa berhasil, kalahkan teman temanmu. Kamu itu terbaik, seperti ini saja bisa, apalagi itu.
Ungkapan ini sangat baik dalam memicu prestasi anak anak. Mimpi mimpi anak anak di berbagai kegiatan sekolah, perlombaan dan meraih prestasi juga mimpi mimpi orang tua mereka. Apa yang disukai orang tuanya menurun pada cara mengarahkan anak anaknya menang dan berprestasi.
Namun disayangkan, disisi lain, ketika orang tua tidak memperkenalkan nilai nilai di balik kemenangan itu. Anak anak tumbuh dewasa dalam ruang yang menjerat mereka sendiri. Menjadi egoisme antar kelas, antar identitas, dan pengakuan atas yang lain dan meniadakan teman temannya.
Kemudian terciptalah budaya antar kelas ‘menang dan kalah’ tercipta, antara yang ‘pintar dan bodoh’, antara ‘yang kuat dan lemah’, antara ‘kaya dan miskin’, antara ‘yang gaul dan tidak gaul’. Semua itu tanpa sadar membawa sikap anak yang buruk menilai orang diluarnya
Warisan ajaran itu menjadi perilaku buruk yang dimanfaatkan oknum oknum diajang kampanye 6 bulan lalu. Sayangnya kemudian hal buruk itu dikemas dan jadi tontonan yang menarik untuk generasi kita. Bahkan menjadi ukuran kesuksesan yang dikembangkan media dan medsos yang tidak bertanggung jawab. Dengan sikap mau menang sendiri dikelompoknya dan orang lain salah.
Disadari tau tidak ajaran itu sudah lama dan mewarisi generasi. Mungkin waktu kecil kita pernah diajarkan seperti itu. Sehingga ketika diajak bersatu seperti sekarang, teramat susah. Seperti hati yang sulit berubah. Karena ditanamkan trauma trauma lama dan mendalam.
Bahkan ketika diselesaikan permasalahan itu, cenderung hanya menjadi even even penutup luka sejarah atau menjawab kisah tragis kemanusiaan yang kemudian di pertontonkan untuk sekedar bilang kita tidak seperti itu sebagai individu atau manusia. Bukan mainstreaming sehari hari yang menjadi perilaku dan nilai yang kita tanamkan kepada anak anak.
Salah satu yang terberat pasca pemilihan caleg dan capres kemarin adalah mengembalikan budaya silaturahmi. Bahwa kondisi apapun yang dihadapi seseorang, seharusnya jangan sampai mengalahkan silaturahmi. Hal itu diperlihatkan jiwa besar pemimpin Bapak Joko Widodo dan Bapak Prabowo Subianto yang harusnya mengubah situasi sekarang.
Sayang kan, kalau anak anak lebih memahami tontonan itu menjadi jurang perbedaan pendapat, kasus hukum dan hate speech atau kampanye kebencian berbau ketidak terimaan atas eksistensi yang lain.
Mungkin mengobati dan memulihkan butuh panjang. Namun demi anak anak dan generasi selanjutnya, mari kita lakukan.
Saatnya sekarang berkurban dan memotong sifat itu, generasi yang lalu, yang terlalu amat apatis putus asa, mari kita tinggalkan.
Dengan lebih mengapresiasi dan memenangkan mereka yang suka berlomba dengan sifat sifat berbagi peran, bekerjasama, berkolaborasi, bergotong royong dan mendamaikan.
Nilai nilai itu tidak setiap hari kita lakukan. Nilai nilai itu tidak setiap hari kita menangkan.
Dengan generasi yang kita menangkan dengan sifat sifat lomba kerjasama, kolaborasi, berbagi peran, silaturahmi, mendamaikan dan kerjasama. Kita beri piala mereka, kita sanjung mereka yang mampu mengajak bersama sama. Sehingga sebagai anak anak dan generasi bangsa kita benar benar kembali berevolusi mental menjadi jiwa jiwa anak anak yang MERDEKA.