‘Tak Ada Yang Istimewa’ Bersama Pak Anies

Tulisan ini diambil dari kiriman seorang relawan Jakarta Barrier Free Tourism yang menyebarkan di sosmed tentang kisah perjalanan penyandang disabilitas bersama Gubernur DKI Jakarta Bapak Anies Baswedan. Mari simak kisahnya:

Pagi cerah di Trotoar bawah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Stasiun Pal Merah. Seturun dari taksi biru, nampak teman teman penyandang disabilitas dari berbagai organisasi, aktifis disabilitas, para pendamping dan warga, yang mendaftar ikut jalan jalan.

Trotoar itu berwarna merah dan bergaris kuning serta dibelakangnya tampak tembok berjajar warna hijau. Hari ini rencanaya kita mau cek trotoar bareng Pak Gubernur DKI dalam rangka Ulang Tahun Jakarta Barrier Free Tourism yang ke 6. Ada sekitar 100 orang lebih yang diantaranya 68 penyandang disabilitas.

Yang menarik bagi saya ketika turun taksi adalah pemandangan 9 adik balita cerebal palsy yang berbaris rapi, karena baru pertama ini jalan jalan bersama mereka. Nampak ‘botol infus’ di beberapa kereta bayi, tapi isinya sebenarnya Susu, yang dipegangi orang tua mereka di setiap kereta bayi, dan ada selang masuk melalui hidung atau organ tubuh mereka.

Ada juga orang orang yang nampak berkomunikasi dengan tangannya, mereka adalah komunitas Tuli. Begitu juga teman teman Tuna Netra dan teman teman yang berkursi roda. Nampak juga 20an lebih orang berpakaian biru seperti pakaian perawat, namun setelah mendekat ternyata itu adalah para pendamping dari Mobil Trans Care yang merupakan layanan khusus Trans Jakarta bagi penyandang disabilitas. Ada juga Mobil Akses Kemensos dengan pasukan hitam bertuliskan Tim Reaksi Cepat.

Memang acara cek trotoar ini di sebar luaskan via sosmed bahkan diberitakan di media media mainstream, sehingga cukup banyak yang hadir memenuhi badan jalan. Beberapa orang dari pemerintahan juga hadir, mereka secara personal hadir menjadi peserta Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT) pagi ini. Nampak Direktur Anak Kemensos Pak Nahar, Asdep Anak Berkebutuhan Khusus Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak Ibu Babay Jastantri, Mba Lucky Yudhistira dari Kominfo dan Bappenas. Lainnya adalah petugas dari Pemda DKI ada Satpol PP, Dishub, Dinas Taman dan Perhutanan, Kepolisian, Dinas Sosial Jakarta Pusat, Petugas Commuter Line, dan para Pimpinan Trans Jakarta.

Cucu Saidah salah satu pengguna kursi roda mulai membuka acara yang di gelar di pinggir badan jalan itu dengan ditemani Rully yang siap dengan gerak tangan dan bibirnya menjadi penerjemah bahasa isyarat untuk komunitas tuli. Agendanya adalah mempraktekkan bagaimana penyandang disabilitas mengakses fasilitas publik serta bagaimana cara menjadi pendamping penyandang disabilitas bila bertemu di jalan. Juga di contohkan bagaimana berinteraksi dengan bermacam macam penyandang disabilitas, yang langsung diperankan masing masing.

Pengguna kursi roda diperagakan Cucu sendiri. Kemudian Tunet yang diperankan Ceta, Balqis dan Trian. Lanjut komunitas Tuli dibawah komando Mas Rully. Beberapa petugas dari Trans Care, Satpol PP dan Warga yang hadir juga ikut aktif berdialog. Beberapa media sibuk menyorot sana sini.

Selepas acara sosialisasi sekitar 1 ½ jam di JPO Stasiun Pal Merah perjalanan dilanjutkan menuju Stasiun Tanah Abang. Ada 4 kelompok yang akan melakukan cek aksessibilitas, pertama adik adik cerebal palsy, kedua pengguna kursi roda, ketiga komunitas tuli, keempat komunitas tuna netra atau Tunet.

Adik adik cerebal palsy dengan kereta dorongnya mulai menapaki JPO stasiun dengan di angkat bareng, pengguna kursi roda juga sama dengan bersusah payah mereka berusaha menaiki JPO itu dan di bopong petugas Trans Care, Satpol PP dan Tim Reaksi Cepat. Karena memang belum ada jalur khusus JPO untuk mereka. Kebayang kan kalau mereka melakukannya sendiri.

Kemudian kelompok komunitas tuli dengan memperhatikan tulisan petunjuk di sekitar sebagai panduan menuju stasiun, dan terakhir kelompok komunitas tunet dengan melewati ubin kuning yang telah tersedia. Ubin itu bercorak kapsul yang berarti jalan terus dan Ubin bercorak bulat bulat kecil, yang berarti berhenti untuk mendapatkan arah Ubin atau area selanjutnya.

Sesampai di lantai atas Stasiun, para penyandang disabilitas mulai mencoba memasuki mesin ‘tap kartu elektronik’. Beberapa bisa melalui, namun ketika pengguna kursi roda, spacenya tidak cukup alias tidak muat. Akhirnya petugas memberi alternative dengan men tap kartu, dan masuk melalui area lain, setelah itu kembali ke lantai bawah menuju kereta.

Mba Rade pengguna kursi roda mencoba tawaran alternatif itu dengan mencoba lewat lift yang tertulis ‘Maaf Sedang Perbaikan’ dan akhirnya memberanikan diri turun melalui escalator. Para pendamping dari Trans Care, Satpol PP secara sigap, berhati hati menurunkan kursi roda dengan posisi membelakangi escalator, agar pengguna kursi roda tidak terjungkal.

Tak kurang dari 10 menit Kereta Commuter Line yang akan mengantarkan mereka ke Stasiun Tanah Abang tiba. Semua penyandang disabilitas secara mandiri mencoba masuk ke pintu kereta. Meski sudah berposisi siap masuk kereta, ternyata pintu kereta belum tentu berhenti di depan mereka. Begitu juga selasar stasiun dan lantai kereta yang tidak sejajar, sehingga pengguna kursi roda kembali di angkat dan pengguna tongkat kembali meraba jalan.

Didalam kereta para komunitas tuli mencari informasi yang bisa dibaca, agar mereka bisa tepat turun di stasiun tujuan. Hanya saja mereka belum menemukannya.Untungnya kita sedang jalan jalan bareng. Didalam kereta terlihat Surya Sahetapy anak artis senior legendaris Dewi Yull yang sedang melaporkan on the spot kondisi mereka yang tuli dalam mengakses stasiun dan kereta. Ia juga asyik menghibur adik adik cerebal palsy agar tetap kondusif sepanjang perjalanan.

Selepas turun dari kereta, para penyandang disabilitas masing masing mencari petunjuk sesuai kebutuhan mereka. Untuk Tunet selepas dari pintu kereta sudah bisa mengakses ubin kapsul, yang dapat memandu mereka keluar dari Stasiun. Hanya untuk komunitas Tuli mereka harus berani bertanya atau memperhatikan pergerakan orang sekitar, hanya saja tidak mudah karena mereka bertanya dengan menggunakan bahasa tangan, gerak mulut dan gesture tubuhnya, yang belum tentu dapat dipahami dan akhirnya harus menulis. Selain itu mereka harus rajin mencari petunjuk atau tulisan yang mengarahkan untuk keluar stasiun.

Selanjutnya dari Stasiun Tanah Abang kami menuju Halte Busway Jati Baru yang berposisi di bawah taman fly over tanah abang. Kami harus siap menyeberangi beberapa per4an untuk menuju halte busway. Untuk komunitas Tunet berharap ada ubin petunjuk yang lebih lengkap, begitu juga pengguna kursi roda berharap trotoar yang miring dan rusak dapat diperbaiki dan lebih landai. Namun dengan kesigapan petugas Trans Care kami bisa melalui hambatan tersebut.

Sesampai di halte kami berdiskusi sebentar dengan para petugas Trans Care, petugas Halte Busway dan pimpinan Trans Jakarta Pak Welfizon sambil menunggu Bus Trans Eksplorer Lower Deck yang akan mengantarkan ke Trotoar depan Sarinah. Sudah 15 menit kami saling bercengkerama tentang perjalanan. Bus Lower Deck itu datang dan kami merasakan langsung keramahan bus tersebut sampai depan trotoar Sarinah.

Bus Trans berhenti di depan Sarinah, kemudian kami satu persatu turun. Didalam keramaian tiba tiba muncul Pak Anies. Beliau menepati janjinya dan kami cukup surprise dengan kehadiran beliau. Beliau langsung menyalami Trian, Cucu dan Rade. Cucu menyampaikan kondisi jalan yang telah mereka lalui. Kemudian mengucapkan terima kasih kepada Gubernur yang menyempatkan waktu bergabung dengan komunitas Jakarta Barrier Free Tourism.

Kemudian kami menyusuri bersama trotoar Sudirman – Thamrin. Pak Anies langsung mengambil posisi mendorong kursi roda Cucu, beliau juga memanggil Mas Trian pengguna tongkat dan Mba Rade pengguna kursi roda untuk bersama sama menyusuri jalan dengan jalan beriringan dengan teman teman penyandang disabilitas lainnya.

Dialog aktif terjadi sepanjang trotoar, Pak Anies merasakan langsung bagaimana kursi roda yang dipegangnya sendiri menghadapi banyak hambatan, seperti beberapa tiang yang berjajar agar motor tidak masuk, tetapi menyebabkan kursi roda tidak bisa melewati. Kemudian trotoar yang miring, kotak listrik yang terbuka dan kabelnya semrawut di jalan, trotoar yang sempit, kotak kabel di tengah trotoar yang sempit, ‘ubin kuning petunjuk tunet’ yang rusak. Sembari sesekali berhenti dan mengajak berdialog dengan penyandang disabilitas.

Beliau juga meminta saran apa yang harus dilakukannya. Rombongan sempat terhenti lama, ketika melihat pagar dan taman sebuah gedung yang memakan trotoar, sehingga menghalangi ketika mereka lewat. Bahkan beberapa trotoar menyebabkan mereka harus turun ke jalan raya, padahal itu bisa membahayakan. Untungnya hari ini jalan jalan dengan pengawalan Gubernur.

Sebenarnya kepadatan atau keramaian sudah biasa bagi mereka. Hanya orang sering menganggap ‘kami tidak normal’. Padahal sebenarnya kondisi dan hambatan dijalan yang membuat kami tidak normal. Begitu juga ketika ada yang bilang ‘kami orang yang penuh keterbatasan’, padahal sebenarnya fasilitas yang membatasi dan tidak memihak kepada kami. Misalnya saja komunitas Tuli, mereka tidak bisa beraktifitas normal karena tidak ada panduan sebagai petunjuk dan informasi. Jadi yang membuat tidak normal dan terbatas sebenarnya adalah dari kebijakan dan pembangunan yang semestinya tidak menghambat mereka, kata Cucu.

Hal yang sama juga disampaikan Gubernur selepas menyusuri trotoar Sudirman – Thamrin. Dalam pidato pembuka beliau di Auditorium Perpusnas RI menyampaikan bahwa apa yang nampak indah, taman diatur sedemikian rupa, nampak nyaman di depan mata. Namun pada kenyataannya tidak nyaman di hati, karena ada saudara saudara kita penyandang disabilitas yang sewaktu waktu terancam.

Beliau berjanji akan segera merubahnya dan menghilangkan hambatannya. Oleh karena itu Pemda melakukan revitalisasi Trotoar Jakarta. Acara di tutup dengan pemotongan kue oleh adik Balqis bersama Gubernur.

Ditengah potong kue Trian Airlangga koordinator JBFT berharap potongan kue tersebut menjadi pertanda akan hilangnya hambatan bagi mereka dalam menyusuri Ibukota.

Dari kisah perjalanan di atas, ada momen menarik Gubernur dengan para pemyandang disabilitas, yang terkesan tidak mau di istimewakan, yaitu:

1. Ketika para pembidik kamera dan berita mendekat di Sarinah, beliau meminta semua awak media dan pembidik foto untuk memberi ruang dan jarak yang luas, agar ia dan para penyandang disabilitas dapat melakukan cek trotoar. Yang diamini para penyandang disabilitas, pentingnya melakukan cek aksessibilitas dengan jarak pandang yang cukup, agar nampak jelas hambatan yang akan dilewati.

2. Ketika mendorong kursi roda Cucu Saidah, meminta orang disekelilingnya tidak membantu, karena ingin bisa merasakan langsung hambatan yang dialami Cucu dalam mengakses trotoar. Bahkan beberapa kali ia harus mengingatkan orang orang yang mencoba membantunya, yang akhirnya mengurungkan diri, ketika ia mengangkat dan menurunkan kursi roda Cucu Saidah.

3. Ketika hendak menyeberang jalan selepas dari Sarinah, para pengawalnya menghentikan kendaraan, padahal rambu lalin sedang hijau. Hal itu berlangsung beberapa detik karena Gubernur sedang perhatikan Trian dan Cucu yang menyampaikan kondisi trotoar didepan mereka. Kemudian beliau meminta semua kendaraan tetap jalan karena lampu masih hijau. Yang akhirnya orang disekitarnya dan pengawal menyadari, Kemudian para pengawal menerapkan di semua per4an yang ditemuinya sepanjang jalan, sampai Perpusnas.

4. Ketika diminta berpidato, sesampai di panggung beliau justru mengajak semua penyandang disabilitas untuk naik ke panggung dan meminta para pendamping tetap duduk. Kemudian mengomandoi para penyandang disabilitas berterima kasih kepada para pendamping yang bertahun tahun menemani separuh hidup mereka. Seraya menceritakan bagaimana ia menjadi pendamping dan mendorong kursi roda orang tuanya. Ini menjadi momen mengharukan bagi para pendamping dan penyandang disabilitas.

5. Ketika adik Balqis Tuna Netra diminta meniup kue ultah JBFT yang ke 6 oleh MC. Selepas MC bicara, beliau spontan begitu saja langsung mengangkat tangan meminta ‘sebentar’. Kemudian mengangkat kue ultah tersebut dan mendekatkan ke bibir mungil Balqis yang sedang memegang tongkatnya. Kemudian Balqis di aba aba beliau untuk meniupkannya. Yang menjadi momen penting lainnya bagi para penyandang disabilitas.

Di lain hal, sepanjang perjuangan teman teman penyandang disabilitas mengajak jalan jalan melalui JBFT. Seiring itu pula para JBFTers cukup pesimis, dengan melihat perubahan yang amat lamban. Karena advokasi melalui jalan jalan JBFT sudah berumur 6 tahun. Yang pada setiap evennya selalu melakukan edukasi, sosialisasi, mengajak berbagai orang yang dianggap penting dan bisa melakukan perubahan. Bahkan JBFTers sering mendapat berbagai undangan pemerintah, penyelenggara jasa transportasi, namun pada kenyataannya perubahan masih belum sempurna, tidak bisa langsung. Disinilah keterpanggilan setiap orang yang mengikuti JBFTers untuk tidak bosan bosannya melakukan jalan jalan demi edukasi bersama. Dengan selalu menambah persaudaraan dan mengajak yang lain, yang belum pernah mengikuti jalan jalan bersama JBFT.

Tentu seiring dengan sikap Gubernur yang kita kagumi. Seiring itu pula berharap apa yang beliau rasakan dan terjemahkan dalam menghadapi hambatan bersama JBFT, seiring itu pula panggilan kuat jiwa beliau untuk segera melakukan perubahan, terutama dalam mendukung aktifitas kedepan penyandang disabilitas di pusat kota Jakarta. Mereka punya keinginan dari aksi mereka di Stasiun Pal Merah menuju Perpusnas RI, mereka ingin melalui Perpusnas yang merupakan pusat baca ragam keilmuwan dapat membuka akses penyandang disabilitas menuju Dunia. Untuk itu mereka menyelenggarakan ulang tahun JBFT yang ke 6 dengan hastag Membuka Akses Jendela Dunia. Semoga Pak Gubernur dapat mewujudkannya.

Jakarta, 13 3 2018
*Relawan JBFT*

Check Also

Alat Kontrasepsi, Perdebatan dan Kekhawatiran Nakes

Dunia jagad pendidikan kita, baru saja diramaikan perdebatan alat kontrasepsi. Hal itu terjadi karena pencantuman …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *