Kehadiran Menteri Sosial Khofidah Indar Parawansa dalam acara Lintas Iman dan Kepercayaan dalam Konferensi Child Wellbeing menekankan pentingnya peranan para pemimpin agama dan aktivis interfaith untuk melakukan pengawalan, peningkatan dan percepatan tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. “Salah satu akar masalah penyebab kemiskinan adalah soal akte kelahiran, dari 86 juta anak Indonesia, 50 juta lebih belum punya akte kelahiran. Kemensos sudah mengajak tujuh kementerian lembaga untuk melakukan proses percepatan akte kelahiran”, ujar Khofifah yang berharap forum ini bisa memberikan rekomendasi efektif kepada pemerintah, para praktisi lapangan dan pemimpin agama.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, untuk meningkatkan aspek pengawalan percepatan tumbuh kembang kesejahteraan anak dalam posisi seperti saat ini harus dilihat dari berbagai faktor seperti budaya, hukum, dan kesehatan yang membutuhkan peran serta dari semua lini. Menurut Khofifah, adanya peran serta dari agama untuk meningkatkan kesejahteraan anak, merupakan langkah yang baik. Sebab, untuk kesejahteraan selalu berkaitan erat dengan budaya. Dia mencontohkan anak tidak memiliki identitas seperti akte kelahiran karena dipengaruhi oleh budaya dengan mencontohkan, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selalu mengedepankan budaya, sehingga ketika tuntutan budaya tidak dapat dipenuhi maka anak tidak memiliki identitas.
Meskipun demikian, masih banyak anak di Indonesia yang tidak memiliki identitas diri, sehingga banyak yang belum dapat menikmati layanan yang ada. Tercatat dari 86 juta anak Indonesia saat ini, 50 juta orang di antaranya masih belum memiiki akte kelahiran. Hal ini yang membuat Kemsos serius menjalin kerja sama lintas kementerian untuk memperjuangkan hak anak bangsa
Sementara Direktur Program CDCC Yayah Khisbiyah menyebutkan bahwa anak-anak dan perempuan merupakan jumlah penduduk miskin terbesaar di Indonesia yang disebabkan oleh kebijakan dan system yang tidak adil. “Padahal, masa kanak-kanak harusnya ditandai dengan berbagai tahapan tumbuh kembang yang positif, namun kita masih mendapati anak-anak putus sekolah, buruh anak, kenakalan anak dan kekerasan terhadap anak”, ujar Yayah. Ia juga mengharapkan agar kerjasama lintas agama ini dapat menggantikan paradigma yan tidak adil dan diskriminatif terhadap anak dengan paradigma inklusif.
Konsultan KAICIID Wiwin Siti Aminah berharap lokakarya ini bisa menggali lessons learned dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan lembaga-lembaga lintas agama untuk memiliki komitmen bersama meningkatkan kesejahteraan dan tumbuh kembang anak.
Dua narasumber yang hadir siang itu adalah Ilma Sovri Yanti – Koordinator Eksekutif Satgas Perlindungan Anak yang lebih menyorot kepada kondisi anak korban tindak kekerasan intoleransi, anak terstigma karena kondisi orang tuanya dan anak terisolasi. Ilma mengatakan bahwa anak-anak yang dimaksud tidak memiliki data dan administrasi sehingga mereka tidak mendapatkan akses dan layanan dari program pemerintahan yang masih saja menilai dengan “kaca mata” konfliknya, bukan pribadi anaknya. Sehingga anak-anak ini tidak mendapat kesempatan seperti anak-anak umum lainnya. “tidak hanya disekolah sang anak di bully, disekitar tempat tinggal pun anak tersebut menerima perlakuan salah dari anak-anak sebaya lainnya bahkan orang dewasa”.
Ilma, juga menampilkan terstimoni anak-anak dari komunitas Ahmadiyah, “mereka sering diejek karena anak Ahmadiyah dan sering berakhir dengan kekerasan, walau kadang akhirnya anak Ahmadiyah ini pun melawan karena tekanan untuk membela diri pun muncul alasan untuk bertahan”.
Hal serupa pun terjadi pada anak-anak dari komunitas Masyarakat Adat, Ilma pun menyampaikan “Anak-anak Sunda Wiwitan pada Hari Anak Nasional 23 Juli 2015 ini mendatangi kantor DPRD Kuningan, selain silahturrahmi, anak-anak ini juga menyampaikan tentang kondisi mereka yang tidak memiliki akta kelahiran”. Dan menyambung dari penjelasan Ibu Menteri Sosial, bahwa Akta Kelahiran memang masih menjadi masalah besar di Indonesia, dimana 50% anak-anak Indonesia belum memilikinya.
Ciciek Farha, pendiri Tanoker Ledokombo Jember, lebih kepada berbagi pengalaman tentang dunia bermain anak yang sesungguhnya, “bagi anak bermain itu adalah untuk bersenang-senang, kita orang tua harus memberikan kesempatan dan memfasilitasinya agar bermain itu makin menyenangkan dengan menampilkan karya mereka”.
Diakhir presentasinya Ciciek Farha menampilkan video aktivitas seni dan budaya yang dimainkan oleh anak-anak asuhnya.