Satgas Perlindungan Anak Indonesia (Satgas PA) bersama mitra dan jaringan menggelar kampanye mudik ramah anak dan disabilitas (MRAD). Tahun 2015 isu disabilitas diangkat secara khusus menjadi bagian penting dalam gerakan masyarakat inklusi oleh civil sociaty.
Ada alasan mengapa disabilitas pantas untuk diangkat, pertama, publik harus tahu dan sadar bahwa siapa saja dapat terancam dan menjadi disabilitas. Kedua, fasilitas dan layanan atau aksessibilitas di Indonesia masih belum mengakomodir kebutuhan disabilitas. Ketiga, jangan melihat disabilitasnya namun lihat disekitar/lingkungan disabilitas, apa dan siapa yang membuat disabilitas menjadi terhambat dan terbatas. Keempat, kebijakan dalam isu disabilitas masih mengalami diskriminasi. Kelima, negara dan pemerintah belum serius menangani kebutuhan aksessibilitas bagi disabilitas. Keenam, banyak hak yang tidak terpenuhi sehingga pelanggaran HAM sangat mudah terjadi.
Kita dapat membayangkan tingkat kesulitan yang dialami orang dengan disabilitas. Misalnya dalam perjalanan waktu, sering terkendala dalam layanan dan fasilitas transportasi, fasilitas toilet umum, mushalla, fasilitas ruang tunggu bahkan kantin/cafe yang masih setengah hati menyediakannya (fasilitas yang ramah). Orang dengan disabilitas pun harus menahan ke toilet atau harus menggunakan pispot dan pampers agar kebutuhan untuk buang air pun dapat dilakukan secara mandiri, ini dikarenakan fasilitas tersebut tidak ada.
Empat hari melakukan audit fasilitas publik, ditemukan berbagai kondisi yang disabilitas tidak dapat menikmatinya. Mulai dari: Mudik gratis, sangat tidak mungkin para disabilitas melakukan mudik. Jangankan membeli ticket, gratis pun mereka tidak dapat menikmati. Akses untuk menaiki kendaraan pun sudah sulit dan beresiko pada diri yang bersangkutan.
Belum lagi proses mendapatkan ticket melalui antrian dan berdesak-desakan yang juga beresiko kepada yang bersangkutan. Sehingga mudik adalah harapan bagi yang mampu saja (seperti pergi haji).
Lapangan pekerjaan, walau tercatat dalam aturan kebijakan, tetap saja pihak swasta/ industri enggan memberikan pekerjaan kepada orang dengan disabililitas. Pola pikir menjadi ukuran penting dilihat dari kelengkapan fisik membuat para pemberi jasa berpikir ulang untuk menerima pekerja dari orang-orang disabilitas. Hal ini membuat persoalan baru dalam pemenuhan ekonomi, disabilitas dibuat miskin secara struktur, ekonomi dan sosial.
Pendidikan, sering diperlakukan diskriminatif bahkan tidak dapat melanjutkan pendidikan dengan berbagai kasus dan alasan. Kesehatan, belum mendapat pelayanan yang memuaskan
Fungsi sosial pun menjadi terganggu karena stigma dan paradigma berpikir yang salah yaitu cacat adalah sakit, cacat adalah kutukan, cacat adalah aib dan sebagainya. Sehingga keluarga dan masyarakat rela menutupi keberadaannya bahkan disingkirkan dengan cara di pasung adalah salah satu fakta ditemukan di lapangan.
Setidaknya ini adalah bagian kecil fenomena yang terlihat dari kasat mata. Haruskah kita diam dengan kondisi seperti ini? Mari kita ikat komitmen dengan peduli kepada kebutuhan disabilitas, mari kita dukung perjuangan untuk bebas hambatan dengan memberikan fasilitas untuk kemandirian demi kehidupan yang layak bagi orang dengan disabilitas.