
Pagi yang sangat indah untuk bersandar di bangku kayu ini, ditemani segelas kopi untuk menghangatkan badan sembari menyambut mentari bersinar. Sudah dua hari berlalu saya tinggal dan hidup bersama masyarakat yang berada tepat di beranda negeri ini—perbatasan Indonesia-Malaysia, desa Jagoi di Kalimantan Barat. Saya ingin mencoba untuk merefleksikan apa yang saya jumpai selama berada di tempat ini. Semula saya hanya ditugaskan untuk pengumpulan data penelitian oleh dosen saya, dan data-data yang dimaksud sudah rampung terkumpulkan. Namun ada hal mengganjal saat saya memutuskan ingin meninggalkan desa ini, saya masih ingin belajar banyak hal disini sehingga belum ingin kembali ke Kota Pontianak.
Sungguh menarik perhatian saya untuk menilik kehidupan anak-anak di tempat ini. Mungkin sama saja hal-nya dengan kehidupan anak-anak di desa-desa lain yang masih berada di kawasan Kecamatan Jagoi Babang. Namun disisi lain ternyata dugaan saya sedikit melenceng dari fakta dan realita yang sesungguhnya terjadi. Terdapat anak-anak rawan yang pada awalnya tidak terduga sama sekali dalam benak saya.
Anak rawan sendiri pada dasarnya adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok anak-anak yang karena situasi, kondisi, dan tekanan-tekanan kultural maupun struktural menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-haknya, dan bahkan acap kali pula dilanggar hak-haknya (Suyanto, 2013). Semula saya hanya mengira bahwa anak-anak rawan hanya menjamur di daerah perkotaan, seperti banyaknya anak-anak jalanan (mengamen, mengemis, mencopet, pedagang asongan, menjaja koran, dan masih banyak lagi). Ternyata anak-anak rawan tidak hanya sebatas mereka yang hidup dan tinggal di jalanan, dan menjamur di daerah pedesaan.
Dalam Konvensi Vol. III No. 3 April 1999, dalam dokumen PBB tertulis beberapa situasi yang dianggap rawan bagi anak sehingga membutuhkan upaya perlindungan khusus, tiga diantara kondisi tersebut adalah “jika anak terlibat terlibat dalam penggunaan zat psikoaktifâ€, “jika anak melakukan pekerjaan yang mengandung resiko kerja tinggi (bekerja dalam industri seks komersial)â€, dan “jika anak, karena kondisi fisik (misalnya, cacat sejak lahir atau akibat kecelakaan), latar belakang budaya (minoritas), sosial ekonomi (tidak memiliki KTP, akta kelahiran, miskin) maupun politis orang tuanya rentan terhadap berbagai perlakuan diskriminatif (Suyanto:2013). Ketiga situasi ini saya temukan dalam potret kehidupan anak-anak yang tinggal dan hidup di perbatasan negara Indonesia-Malaysia.
Fenomena drug abuse pada anak-anak rawan saya jumpai saat malam mulai menyelimuti pedesaan yang tidak jauh berada di dekat jalan raya menuju Sarawak, Malaysia. Ketika saya bersantai menikmati udara sejuk di malam hari, sekelompok anak laki-laki (berumur sekitar 11-14 tahun) bermotor ugal-ugalan di jalan raya. Kemudian mereka menyelinap masuk dari gerbang gereja yang tidak jauh dari tempat saya menginap. Suasana di samping gereja itu cukup gelap (tanpa penerangan), mereka disana tengah menggunakan zak adiktif seperti lem (anak-anak tersebut nge-lem). Hal ini saya ketahui dari salah seorang guru SMP yang ada disana. Bukan saja lem yang mereka konsumsi, bisa saja narkotika dan zat adiktif lain yang berbahaya. Mereka dengan mudahnya mendapatkan barang-barang jenis tersebut karena akses yang sangat mudah dari negara tetangga. Bebasnya barang dan jasa yang keluar masuk dari Malaysia ke Indonesia melalui wilayah perbatasan tentu akan berpengaruh besar dalam pergaulan bebas anak-anak di perbatasan.
Masyarakat di perbatasan Jagoi Babang ini juga memiliki banyak akses ‘jalan tikus’ untuk menuju ke wilayah Malaysia, sehingga hal ini tentu menimbulkan potensi besar terjadinya penyelundupan barang-barang ilegal. Tidak terkecuali adalah Narkoba, yang sangat sering disalahgunakan anak-anak muda di perbatasan. Demikian pula pengedarannya, mereka yang tidak tahu akan bahayanya narkoba akan mudah tergoda untuk menjadi pengguna bahkan pengedar, apalagi mereka yang hidupnya belum sejahtera. Sasaran narkoba ini tidak mengenal usia, bisa saja dari kalangan tua atau pun kalangan anak-anak muda.
Potret kehidupan anak-anak di wilayah desa perbatasan juga saya jumpai dalam aktivitas pekerjaan sehari-hari. Mereka bekerja membantu perekonomian keluarga. Permasalahan pokok pada masyarakat perbatasan adalah kemiskinan. Hal ini sebagai akibat dari rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang ada. Data yang saya dapatkan dari pemerintah Kecamatan Jagoi Babang mencatat sebanyak 1.537 KK (kepala keluarga) hidup di garis kemiskinan dari jumlah total 1.679 KK di Jagoi Babang. Kondisi ini sangat memprihatinkan, padahal potensi SDA di daerah ini sangat besar. Sebagai contoh, masyarakat menjual hasil kebun seperti sayur-sayuran dan rempah-rempah ke pasar Malaysia. Lalu mengapa kehidupan masyarakat masih belum sejahtera?
Faktor kemiskinan dalam keluarga tentu akan menjadi faktor yang cukup besar terhadap tumbuh kembang seorang anak. Mereka harus bekerja untuk menghasilkan uang, terutama uang ringgit yang digunakan dalam transaksi di wilayah perbatasan. Dalam bertransaksi masyarakat di perbatasan Jagoi menggunakan dua mata uang yaitu ringgit dan rupiah. Namun ringgit menjadi primadona karena nilainya lebih tinggi dari rupiah. Tidak heran jika banyak barang-barang terutama Sembako yang tergolong cukup mahal di wilayah perbatasan.
Fenomena kemiskinan yang ‘memaksa’ anak harus bekerja membantu perekonomian orang tua saya jumpai pada masyarakat perbatasan. Mereka bekerja sambilan dari siang hari hingga sore hari (setelah pulang sekolah—bagi mereka yang sekolah pagi). Ada pula yang bekerja dari pagi hingga siang hari (sebelum berangkat sekolah—bagi mereka yang sekolah siang). Jenis pekerjaannya pun bervariasi, ada yang menjadi buruh di sebuah pabrik ekonomi kreatif masyarakat, dan ada pula yang bekerja sebagai buruh penoreh karet atau masyarakat disana menyebutnya ‘mutong’. Mereka mencari uang untuk jajan sekolah atau membayar uang sekolah, dan ada pula yang untuk menambah penghasilan orang tuanya, dalam artian membantu perekonomian keluarga-nya.
Sebagai sebuah permasalahan sosial, kemiskinan tentu membawa dampak yang lebih luas terlebih bagi anak-anak di perbatasan. Fenomena yang saya temukan sebagai dampak dari kemiskinan di perbatasan yaitu adanya tempat ‘pelacuran’, sebutan mereka disana yaitu ‘warung kopi pangku’. Perempuan yang bekerja disana tergolong gadis-gadis belia (anak-anak), setelah tamat SD (sekolah dasar) atau SMP mereka cenderung memilih bekerja di warung kopi pangku. Warung ini biasanya dikunjungi oleh lelaki-lelaki berduit, sehingga gadis-gadis tersebut mudah mendapatkan pemasukan. Mereka yang bekerja sudah tentu diawasi oleh pemilik warung (pihak yang mendapatkan untung). Siapa bilang praktek prostitusi hanya terjadi di kota-kota besar, bahkan di pedesaan yang bersebelahan dengan negara tetangga pun terjadi fenomena tersebut. Bagi sebagian anak, hal ini terjadi karena adanya tekanan yang bersifat struktural, seperti kemiskinan.
Kemiskinan juga menarik timbulnya potensi untuk para TKW (tenaga kerja wanita) untuk bekerja di Malaysia secara ilegal, termasuk juga didalamnya adalah perdagangan manusia (humman trafficking) semakin meningkat terutama bagi kaum perempuan muda (anak perempuan) yang notabene-nya memiliki pendidikan rendah. Mereka yang akan bekerja menjadi TKW di Malaysia ini tidak mempunyai biaya cukup untuk mengurus surat menyurat yang dipersyaratkan untuk bekerja di luar negeri, akan mudah tergoda dengan jalan pintas (yaitu menjadi pekerja ilegal). Terlebih lagi mereka tidak mempunya pengalaman soft skill yang memadai untuk bekerja di luar negeri. (Nikodemus)
Daftar bacaan:
Suyanto, B. (2013). Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Suyanto, B. (2013). Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: In-TRANS Publishing.