Ada dua kisah yang diangkat media, tentang pemilihan OSIS. Dunia memilih dalam aktifitas sekolah di mulai dari OSIS. Sayangnya pendidikan memilih ini kurang banyak diminati siswa, entah kenapa.
Namun sayangnya yang muncul dipermukaan adalah isu agama. Yang membuat generasi kita terjebak dalam sekat isu agama. Namun bolehkah, kita melihat hal tersebut dalam bingkai yang lebih luas.
Sebenarnya ada hal yang lebih penting di perhatikan, yaitu membuka ruang atas nama kekecewaannya siswa
Karena kalau ini tidak terjadi, maka lembaga pendidikan sebagai sarana sadar mendidik esensinya akan hilang. Bagaimana sekolah dan kita semua memfasilitasi tumbuh kembang anak secara positif, menyalurkan energi anak pada kegiatan sesuai bakat dan minatnya.
Bila persoalan persoalan ini sering menjebak kita orang dewasa pada persoalan politik praktis. Maka anak anak yang kecewa akan terus menanam kekecewaannya pada dunia pendidikan kita. Dan akan menjadi generasi yang terpuruk dan terus tertinggal.
Sebenarnya ancaman dunia pendidikan sudah sampai ke tingkat tinggi, sejak 3 anak bunuh diri atas nama pendidikan. Pilihan manusia terdidik untuk bunuh diri. Menyebabkan kita tidak bisa mengukur sekolah. Bagaimana sebuah lingkungan pendidikan, menjadi tempat ajang bunuh diri. Bahkan terakhir ketika anak SMP di Cibubur memilih lompat dari lantai atas terjun kebawah. Tentu akan jadi 4 kasus.
Lalu sejauh apa konsen dunia pendidikan kita dalam melihat fenomena anak di tolak berOSIS karena agama dan kasus bunuh diri di sekolah..
Kasus ini sebelumnya juga terlaporkan ke KBAI pada maraknya pemilihan OSIS. Seperti anak ketika mendapatkan tawaran, seleksi, wawancara dan dinyatakan lulus. Kemudian di umumkan wali kelasnya sudah lolos seleksi dan ditempatkan pada satu posisi. Tetapi saat pengumuman oleh Kepala Sekolah, anak tersebut pindah posisinya.
Sekolah seperti tidak tahu psikologi pertumbuhan anak. Bahwa ketika anak memilih sebuah isu, itu bukan hal mudah bagi anak. Tetapi ketika anak didik memilihnya. Itu akan menjadi persoalan sangat penting. Makanya ketika sekolah merubah, mereka sangat kecewa. Sayangnya dalam persoalan seperti ini, sekolah menganggap hal biasa. Inilah malapetaka dunia pendidikan kita, ketika guru tidak memahami esensi tumbuh kembang peserta didik.
Ketika anak kecewa. Sekolah menjawab menjadi OSIS harus siap ditempatkan dimana saja, suara anak tenggelam, patah, jauh dari hingar bingar suara orang dewasa yang paling menentukan OSIS.
Tanpa disadari para guru sedang mempertontonkan pangung kapitalisme yang licik atas nama pendidikan. Peserta yang harusnya di didik, seketika menjadi robot yang harus berbaris dan dengar kata perintah, tanpa boleh dikritik.
Di benak kita terbayang peserta didik bagaikan robot kapitalisme yang harus tunduk pada bisnis sekolah. Disinilah kita sedang menjauhkan optimisme hidup dan optimisme masa depan anak. Kita membayangkan mereka kedepan akan menjelma menjadi apa, setelah perlakuan buruk kita.
Proses bagaimana anak dikenalkan OSIS, posisi yang ditawarkan dalam OSIS untuk ikut seleksi dan anak terlibat aktif, seperti proses yang ditiadakan.
Inilah fenomena potret pendidikan kita di masa pandemi. Lalu dimana slogan Sekolah Ramah Anak yang tertempel di dinding sekolah, spanduk jelang masuk sekolah?
Eits,,, jangan bicara begitu, karena guru guru sedang terlalu sibuk untuk urusan anak anak.
Pertanyaan pertanyaan kritis ini penting dihadirkan, agar kita bisa membayangkan apa yang terjadi di sekolah dalam permasalahan pemilihan OSIS. Berapa anak yang berani mengutarakan kekecewaannya? Atau hanya dibenamkan saja suara mereka oleh orang tua dan sekolah akibat proses pemilihan itu? Atau memang anak mengikuti saja karena daya kritisnya sudah dibunuh lama?
Kita membayangkan ketika anak anak berani bersuara atas kekecewaan pemilihan OSIS, dan orang tua menyampaikan nasehat nak tidak apa apa, kami orang tua tidak suka ribut ribut, nak itu adalah gurumu, jangan macam macam kami bayar mahal sekolahmu, sudah nanti ada kesempatan lagi.
Jawaban jawaban ini berakhir pada generasi kita yang lemah, jauh dari optimisme masa depannya sendiri dan takut menatap masa depan. Inilah hal hal yang tidak bisa dibuat sederhana oleh sekolah. Sekolah harus sadar pendidikan demokrasi tidak hanya sekedar memilih Ketua. Karena anak terlibat dalam arus politik memilih sudah sangat besar, dan itu tidak sederhana.
Sekolah harus tahu ada tahapan yang penting dilakukan dalam bekerja bersama anak, membangun partisipasi anak dalam OSIS, dan etika melangsungkan pemilihan yang berkonsekuensi dengan organisasi itu kedepan. Lalu apa evaluasi selama ini tentang pemilihan OSIS di sekolah.
Apa hanya menjadi ajang perebutan pengaruh sekolah dan orang tua? atau menjadikan anak sebagai yang berpengaruh di sekolah dalam membangun jiwa kepemimpinan?
Disini nampak pendidikan memilih menjadi potret yang amat buruk. Sebenarnya kita sedang mengajak anak anak untuk tidak siap jadi pemimpin dan dipimpin. Memilih dan dipilih.
Sehingga kalau ini terjadi terus, maka tergambar bagaimana pendidikan politik bangsa ini kedepan. Mereka menjadi generasi yang buruk dalam dunia memilih. Peristiwa peristiwa ini tidak bisa dianggap sepele. Dan nyatanya memang sudah terjadi dan dapat kita rasakan.
Karena kalau ditarik pada situasi kebangsaan saat ini, pendidikan memilih anak anak kita ditempatkan diruang hampa, ketika mereka menyampaikan suara dilarang atau menyampaikan kekritisan dan kekecewaannya tidak ada tempat. Tapi ketika ingin sekolah menjalankan OSIS mereka ditarik tarik tanpa tahapan yang baik untuk menjadi OSIS.
Inilah yang juga jadi potret nasional, belakangan, para pelajar yang masuk dalam aksi aksi penolakan kebijakan.
Berbagai sebab mereka ada disini, ada yang memang tahu isu, ada yang memang jiwa pertemanannya, ada yang ikut ikutan dan ada yang memang mengisi kebosanan belajar.
Namun mereka di batasi, di giring, di amankan dan beberapa potret terakhir ada yang di minta membuka bajunya lalu digiring, dikumpulkan dilapangan, acara tangis tangisan ketika penyerahan.
Tentu sangat baik anak dijauhkan dari penyalahgunaan politik, namun apakah anak mendapatkan pendidikan memilih, pendidikanmenyampaikan pendapat, pendidikan menyalurkan kekecewaan, dan suara anak lainnya. Lepas di tangani, ini jadi PR kita semua.
Namun ketika para Paslon yang minta dipilih dalam pemilihan membutuhkan suara Millenial, mereka dihampiri, ditarik tarik, diajak, bahkan dilombakan dalam proses kampanye antar paslon. Bahkan ada yang menggiurkan lagi mereka tertarik mendapatkan sesuatu dari sana.
Namun disisi lain kita melarang mereka terlibat dalam penyalahgunaan politik. Namun di hulu kita juga tidak menyiapkan pendidikan kepemimpinan, pendidikan memimpin dan dipimpin, dan pendidikan menyampaikan pendapat secara benar.
Kita menunggu sekolah dan evaluasi pendidikan memilih yang buruk ini untuk menjadi perhatian Kemendikbud dan kita semua.
Kita berharap sekolah tidak jadi pesakitan, karena proses mendidik adalah hal yang butuh waktu panjang.
Tapi bagaimana keberpihakan kita kepada anak dan menfasilitasi anak dalam proses tumbuh kembangnya secara optimal agar generasi memilih kita rasional dan selamat. Yang berujung menyelamatkan dirinya, keluarga, sekolah dan negara saat menggunakan hak nya. Sekali lagi ini bukan persoalan sepele dan perlu di didik sejak dini.
Tapi jika hanya menjadi konsumsi politik dan pertarungan wacana orang dewasa, maka akan meninggalkan anak anak yang tidak pernah mendapatkan pendidikan yang benar dalam memimpin, dipimpin, dipilih, memilih, dalam bingkai partisipasi. Kebayang tidak generasi kita ke depan dalam menyalurkan habit politiknya seperti apa? Itu jadi pekerjaan besar sesungguhnya untuk kita semua.