Sering kali orangtua dan lembaga pendidikan anak mengalami perseteruan dalam menentukan siapa yang paling bertanggung jawab ketika anak mengalami permasalahan di sekolah. KPAI 2015 menyampaikan kasus anak yang mengalami kekerasan di dalam pengasuhan tercatat 3160 kasus sedangkan didalam dunia pendidikan tercatat 1764 Kasus. Dan dalam prosesnya seringkali terjadi perdebatan sengit menentukan siapa yang paling bertanggung jawab ketika anak melakukan kekerasan disekolah. Sekolah menganggap pengasuhan orang tua yang menyebabkan hal tersebut terjadi sedangkan orang tua merasa sekolah yang tidak melakukan pengawasan.
Sekolah seringkali menjadi pihak yang diminta paling bertanggung jawab, padahal bagi sekolah mereka hanya melayani pendidikan si anak. Yang pada beberapa kasus berakhir anak diberhentikan dari sekolah atau orang tua memindahkan anaknya dari sekolah tersebut.
Pasal 14 UU No. 35 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan ketika Anak terpisah dari orang tua karena berbagai factor maka penggantinya wajib menyelenggarakan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.
Pasal 54 UU Perlindungan Anak juga menyatakan Anak didalam dan dilingkungan satuan pendidikan atau lembaga yang menyelenggarakan pelayanan anak dalam bentuk apapun wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, penyelenggara pendidikan dan/atau pihak lain.
Menurut Muhammad Ihsan Koordinator Aliansi Pengasuhan Berbasis Keluarga lembaga pendidikan yang menyediakan asrama bagi anak didiknya dapat dikategorikan sebagai lembaga LKSA sehingga memiliki tanggujawab dalam pemenuhan kebutuhan pengasuhan anak
Dalam memahami pasal 14 dan pasal 54 dalam UU Perlindungan Anak bahwa penempatan anak dilembaga, institusi, pesantren yang memberikan pelayanan kepada anak harus memastikan pengasuhan anak terus berlangsung setiap saat. Tentunya ini menjadi paradigma baru bagi lembaga yang melakukan pelayanan anak untuk memasukkan pengasuhan dalam pelayanan pendidikan. Begitu juga anak yang mendapatkan pengasuhan dari jarak jauh karena di sekolah berasrama, pesantren atau luar negeri tetap berhak mendapatkan pengasuhan (institutional base care).
Sehingga kasus kasus kekerasan anak disekolah tidak bisa sekolah lepas begitu saja dari pengasuhan selain pemenuhan pelayanan pendidikan. Disinilah Negara menjamin pemenuhan kebutuhan pengasuhan anak dimanapun berada. Oleh karena itu penting gerakan ini menjadi inisiatif bersama Negara dan masyarakat. Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama dapat menjadi inisiator dalam pemenuhan, sosialisasi dan kampanye pengasuhan anak di lembaga pendidikan, pesantren dan sekolah berasrama.
Hal ini tersampaikan dalam forum penyusunan Buku Saku Standar Nasional Pengasuhan Anak yang diselenggarakan Kementerian Sosial RI dan Save The Children yang dihadiri LKK NU, MPS Muhammadiyah, MKS PP Aisyiyah, PP Persis, Sahabat Anak, Forum Panti Nasional, Panti Muslimin, SOS Children’s Villages, Dompet Dhuafa, Bina Anak Pertiwi, Rumah Swara, AMCF, Yayasan Sayap Ibu, JKLPK, JPAB, Pusbinjabfung Kemensos, Panti Cianjur, Panti Nugraha dan BALKS. Sampai berita ini disampaikan pembahasan terus berlangsung di Hote Amarossa Jl. Pangeran Antasari.