Tuntutan negara ini memenuhi UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat memang tidak mudah. Ini terbukti sampai sekarang akses yang dimaksud dalam UU tersebut tidak pernah terwujud merata alias jauh panggang dari api. Lihat saja akses yang diharapkan dengan terbitnya berbagai turunan pasca UU itu dijalankan seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/2006 Mengenai Pedoman Teknis Fasilitas Dan Aksessibilitas Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan serta masih banyak UU maupun Perda lainnya terkait akses bagi mereka yang disabilitas. Harusnya pembangunan apapun sudah menjadi prasyarat memperhatikan akses kebutuhan para penyandang disabilitas. Baik bangunan berupa rumah, jalan, gedung, transportasi apalagi fasilitas umum.
Perjalanan implementasi dalam mewujudkan akses yang ramah bagi disabilitas sudah dijalankan beberapa Kementerian dan Lembaga, namun seperti menemukan jalan buntu. Hal ini disebabkan banyak alasan. Pertama tidak semua daerah mempunyai peraturan daerah yang menjadi harapan diwujudkannya akses bagi mereka yang disabilitas, anggapan masih mahalnya biaya untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas, anggapan disabilitas tidak berdaya, dan masih banyak penyebab lainya yang menjadi pemicu naik turunnya memperjuangkan hak hak disabilitas. Mungkin itu ada dilingkungan kita, namun kepedulian tak juga muncul. Minimnya akses pembangunan menyebabkan mereka sering terlupakan bahkan ditiadakan.
Seorang Disabilitas Tuna Daksa bernama Slamet Thohari di Desa Karang Kates Malang Jawa Timur merancang ketersumbatan kondisi ini, dengan menawarkan konsep desa inklusif. Desa Inklusif merupakan rancang bangun akses yang ramah untuk anak, disabilitas dan lansia. Diharapkan dengan sekali membangun manfaatnya dobel tiga katanya. Artinya anak, lansia dan disabilitas langsung merasakan manfaatnya bersama-sama.
Konsep ini seperti membawa angin baru untuk negara dan masyarakat bisa mewujudkan kesulitan kesulitan yang dihadapi dalam mengajak banyak pihak untuk peduli dengan saudaranya yang rentan seperti anak, disabilitas dan lansia di desa. Dikatakan rentan karena mereka butuh media alat bantu kemandirian. Karena dengan bangunan yang ramah anak, ramah lansia dan ramah disabilitas membuat konsep pembangunan ini menjadi universal alias manfaatnya untuk siapa saja dan dapat menjadi bagian mendukung sosialisasi, pencegahan kekerasan dan pelanggaran HAM. Karena dengan akses ini banyak warga desa akan terbantu nantinya, terutama yang sedang mengalami hambatan dalam beraktifitas.
Satu contoh saja yang Mas Slamet berikan kepada kita. Membangun titian orang berjalan di desa. Titian ini bisa menjadi tempat bermain anak, tempat berjalan disabilitas dan pegangan lansia yang kesulitan menopang tubuhnya. Atau mengganti tangga dengan tempat yang landai yang nantinya bisa dilewati kursi roda, anak kecil tidak takut terjatuh ditangga atau resikonya semakin kecil, bahkan anak bayi mungkin mau merangkak ditempat tersebut karena tidak takut, untuk lansia tidak cepat lelah melaluinya ketika naik dan turun.
Tentunya dalam membangun memperhatikan aspek estetika disekitarnya. Misal untuk tanah berbukit bisa dibuat landai dan tetap bisa ditumbuhi rerumputan, hanya ditambahkan tempat titian, diperluas tempat pijakannya agar lebih aman dan nyaman. Universal Concept didalam membangun ini menandakan pemikiran terhadap membangun akses disabilitas yang mahal mulai terkoreksi. Ternyata manfaatnya bukan hanya untuk disabilitas namun untuk semua warga di desa. Bahkan tingkat keramahan ini juga dapat menyentuh orang sakit, semakin memandirikan yang memakainya, dan juga bermanfaat untuk berbagai aktifitas. Konsep ini yang akan dikembangkan Mas Slamet di desa Karang Kates Malang. Ada 120 Disabilitas, 780 anak, 850 lansia yang akan mendapat manfaat dari program desa inklusif ini.
Muhammad Ihsan dari Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak menyampaikan konsep ini mematahkan banyak pihak tentang anggapan bahwa pembangunan akses bagi disabilitas ‘mahal’. Ada kesadaran bersama yang menimbulkan semangat dan harapan dari desa. Apalagi konsep ini akan dikembangkan di desa dimana harapan kami desa menjadi tempat efektif dalam menjalankan sistem perlindungan anak ditingkat basis. Pimpinan desa sudah sepantasnya mendukung pembangunan yang ramah dan akses bagi semua. Memang konsep ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga faktor resiko untuk anak anak dapat diperhitungkan. Saya mendukung apa yang dilakukan Mas Slamet di Desa Karang Kates.
Seorang Disabilitas berkursi roda Ridwan Sumantri menceritakan sudah pernah mempraktekkan model pembangunan desa inklusif ini tetapi dikontrakannya. Kebanyakan kontrakan belum punya akses untuk masuk kursi roda bahkan ada yang ber-tangga. Begitu juga menuju kamar mandi, sehingga Ridwan harus mengocek uang tambahan untuk sedikit rehab di kontrakannya. Di kontrakan saya Duren Sawit Jakarta Timur kami menambahkannya dengan akses landai menggunakan papan sampai ke pintu depan. Karena dari jalan, cukup panjang sampai tangga depan pintu rumah, kurang lebih 2 meter papan landai ‘knock out’ terbentang. Alhasil papan yang biasa digunakan untuk naik dan turun tersebut sering menjadi barang pinjaman tetangga kontrakan untuk membantu jalan orang sakit. Tetangga sebelah meminjam agar anaknya mau makan, karena bisa main perosotan di papan itu. Lucunya anak anak yang lewat depan kontrakan saya memilih tidak melewati jalan, namun naik kepapan dan berlari turun ke bawah melalui tangga itu, ada juga yang dengan gerobak beroda buatan orang tuanya saling bergantian sama teman temannya ‘merosot’. Hal itu saya biarkan, karena saya sering sendiri dirumah dan melakukan pekerjaan saya dari rumah. Pemandangan itu jadi hiburan buat saya dan juga senang bisa membantu tetangga.
Kementerian Sosial melalui Pak Nahar Direktur Disabilitas juga menyambut baik ide ini. Desa Inklusif yang dirancang Mas Slamet sesuai dengan tema HDI kita tahun ini yaitu Mewujudkan Masyarakat Inklusif Melalui Undang-Undang Penyandang Disabilitas dan Strategi Multisektoral. Saya kira peranan pelayanan negara akan meningkat dengan ide desa inklusif ini. Bantuan yang selama ini berorientasi pada alat bantu bagi penyandang disabilitas ternyata dapat dikembangkan manfaatnya untuk semua. Artinya pembangunan yang mengarah lintas sektor pada aspek pemberdayaan 3 ranah ini menjadi terobosan baru. Dimana akses yang ramah bagi semua dapat dirasakan terutama para disabilitas. Untuk itu penting dalam konsepsi ini pemerintah menjalankannya dengan lintas sektor dan lintas manfaat. Konsep ini patut dikembangkan di sektor lainnya baik yang dikerjakan pemerintah, swasta maupun masyarakat.