Situasi pasca pandemi mengungkap sisi gelap keterbelakangan urusan perlindungan anak. Hal ini terungkap dari pernyataan Ketua MPR sampai Menteri.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyatakan keprihatinan dunia prostitusi anak yang semakin mudah dimasuki anak, ia menegaskan dengan darurat prostitusi anak.
Muhadjir Effendy Menko PMK juga menyampaikan data darurat pernikahan anak.
Para dokter anak juga menyampaikan Kejadian Luar Biasa Campak, dan data besar anak anak penderita Diabetes, Kanker dan Stunting.
Begitupun saling sahut Kementerian tentang tidak tersedianya penanganan korban dan kerugian yang di derita pasca anak meninggal akibat industri obat sirup yang berujung ratusan nyawa hilang sia sia. Seperti menjauhkan kenyataan keuntungan besar industri farmasi dan kesehatan sejak adanya pandemi.
Ketua MPR RI mengkritik langsung peran lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Ia meminta lembaga tersebut segera membuat program untuk pembinaan kepada anak anak dan membangun komunikasi dengan para orang tua.
Sayangnya peran besar yang diharapkan Ketua MPR RI akan sulit dilaksanakan. Karena menyusutnya terus anggaran KPAI, bahkan amanah pembentukan KPAD oleh negara, yang terjadi di lapangan justru lembaga Komisi Perlindungan Anak Daerah ini mundur satu demi satu.
Hal ini diakui Komisi 8 DPR RI sebagai mitra kerja KPAI. Meski ada harapan dengan Ketua DPR RI Puan Maharani mengganti periode KPAI yang sekarang, namun sayangnya anggaran belum berubah.
Terdapat selentingan kabar bahwa anggaran Kesekretariatan KPAI yang ada hanya cukup untuk gaji, tunjangan jabatan, operasional. Sedangkan untuk pengembangan program tidak mungkin dilakukan.
Apalagi wewenang lembaga ini terus di amputasi, sehingga dalam menjalankan indepedensinya sesuai regulasi, sangat tergantung keberadaan Kementerian dan Lembaga lainnya. Ditengah anggarannya yang sangat minim dan tuntutan indepedensi, sedangkan Dirjen Anggaran Kemenkeu juga tidak mengijinkan KPAI menggalang dana publik. Sehingga sangat miris, lembaga antara hidup enggan mati tak mau.
Anggota Komisi 8 DPR RI sendiri pada saat fit and proper test anggota KPAI yang baru telah menyadari kondisi keuangan lembaga tersebut yang sangat minim. Sedangkan memiliki tanggung jawab pengawasan yang teramat besar, dengan beban kerja jumlah anak yang harus dipastikan penyelenggaraan perlindungan anaknya mencapai 84,3 juta anak.
Semoga dengan harapan besar Ketua MPR RI dapat dijawab kebutuhan lembaga pengawasan perlindungan anak ini.
Begitupun Bintang Puspayoga Meneg PPPA saat rapat di Komisi 8 DPR RI juga bersama sama menyadari minimnya anggaran perlindungan, pengawasan, pengasuhan dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Situasi darurat prostitusi anak yang disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo tidak dapat dibilang remeh. Karena bertali temali dengan kondisi anak sebelumnya dalam situasi yamg harusnya dapat dipenuhi dalam peengasuhan, pengawasan dan perlindungan dari lingkungan terdekatnya.
Yang pada kenyataannya anak anak sangat mudah menggunakan aplikasi yang terbuka tanpa batasan, dalam menngakses transaksi elektronik yang berbau pornografi.
Ditengah data besar produksi gadget yang jumlahnya telah melebihi penduduk Indonesia dan pemakai terbanyak dan terlama adalah anak amak. Maka siapa orang tua yang mampu mengawasi anak 24 jam dalam berinteraksi dengan gadget.
Semoga dengan harapan besar Ketua MPR RI kepada lembaga ini, akan menunjukkan komitmen yang lebih kuat negara dalam mendukung penyelenggaraan dan pemgawasan perlindungan anak. Tentu saja setiap anak bagi para orang tua adalah yang terbaik, apapun itu kebutuhan dan masalahnya, lalu bagaimana untuk anak anak Indonesia yang butuh pertolongan seperti anak anak yang di maksud Ketua MPR RI? Tentu harapan Ketua MPR RI ini mampu dijawab semua pihak, harusnya.
Situasi kasus anak anak terlibat industri prostitusi memang di lema. Karena soal pemegakan hukum yang sulit terwujud. Karena anak anak dalam jasa tersebut diminta mementingkan privacy penggunanya. Sehingga takut melapor, karena ancaman menjalani pekerjaan. Padahal dalam regulasi dilarang anak anak yang terbujuk rayu melakukan eksploitasi seksual.
Dalam pelaporan orang tua, terungkap anaknya yang hilang selama ini, telah ditemukan di sebuah apartemen, dan bekerja sebagai prostitusi. Dalam keterangannya ia enggan melapor kepada APH, lebih baik ambil anak langsung. Namun ketika anak diminta pulang, mereka enggan, karena sudah terjebak dunia hitam tersebut.
Situasi anak anak terjebak dunia kekerasan dan kejahatan menandakan kondisi anak anak kita yang sejak lama tidak bisa beraktualisasi dan bereksistensi sesuai tumbuh, kembang, usia dan pemahamannya. Mereka tidak menemukan solusi ditengah gencaran tumpah ruah tawaran simulacra jaman. Realitanya tidak ada jaminan masa depan bahkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi masa depan.
Padahal kita tahu bersama, kekerasan anak yang tinggi terlahir dari kekerasan sebelumnya yang tidak tertangani tuntas dan berkelanjutan, konstitusi kita menjamin anak anak mendapatkan perlindungan, mempertahankan hidup dan tidak mendapatkan diskriminasi. Artinya data kekerasan anak yang besar tersebut, butuh di instrumentasi, tranparansi, akuntabilitas, inklusi dan berkelanjutan. Bukan anak anaknya yang terus berpindah dengan situasi yang lelbih buruk sampai dewasa. Peringatan Bappenas atas angka stunting, tingginya pernikahan anak, yang disertai turunnya daya tahan ekonomi dan kualitas hidup menjadi tantangan negara pasca pandemi. Semoga amanah Tuhan yang dititipkan pada kita, dapat di penuhi hak hak nya. Amin
Tim Redaksi KBAI