Home / KBAI Reportase / Anak Penderita Kesendirian Mencari Teman Imajinatif, Bisa BerBahaya!

Anak Penderita Kesendirian Mencari Teman Imajinatif, Bisa BerBahaya!

Situasi kesendirian anak seringkali terjadi, karena atas ketidakkuasaan menolak sesuatu. Hal tersebut di rekam sedemikian rupa sepanjang jalan hidupnya, yang menjadi pemicu mereka menuju media sosial dan mencari teman. Sayangnya dengan mesin percarian tersebut anak anak menjadi mengenal teman imajinatif, atau di media sosial dikenal dengan JessicaMethod

Cara ini dipakai anak anak, setelah sama sekali tidak menemukan cara, dalam mengatasi hambatan sosialnya. Hambatan sosial ini merambat yang dimulai dari pertemanan yang toxic, tidak adanya keberanian menolak karena berbagai sebab, hambatan itu sampai berlanjut di media sosial mereka dalam berbagai bentuk, dan bersifat jangka panjang, hingga ia mencari cara berteman lewat khayalan atau menemukan teman imajinatif.

Teman imajinatif seringkali hadir sebagai sosok yang di nasehatinya, atas ketidakmampuan menerima trauma, sehingga menghadirkan sosok yang seolah olah dirinya, dalam bentuk bayangan yang tidak mudah di identifikasi, tetapi itu dianggap temannya.

Teman imajinatif ini menjadi sosok penderita yang bisa dinasehatinya. Yang sebenarnya sosok penderita itu adalah dirinya, bisa jadi sosok teman imajinatif itu saat mereka kecil sampai remaja. Bahkan hal ini juga bisa di derita orang dewasa sampai lansia.

Hanya peristiwa yang selalu ditakutkan dari teman imajinatif, ketika anak tersebut sedang dalam situasi buruk, sehingga teman imajinatifnya menjadi lebih buruk, maka teman imajinatif mendorong hal hal lebih buruk lagi. Seperti mendengar bisikan sesuatu, sehingga mereka kehilangan dirinya, tidak menyadari ini diri (real) atau tidak. Menjadikan kesadarannya di kuasai. Ini yang dapat berbahaya, karena bisa tiba tiba melakukan hal sangat buruk, bahkan bisa berdampak bunuh diri.

Para psikolog atau psikiater, mengajak para anak anak yang terlanjur menghadirkan teman imajinatif, dengan memanfaatkan itu. Menuntut anak anak berdialog dengan teman imajinatifnya dalam rangka penyembuhan. Namun tidak bisa dilakukan sembarangan, karena ada tahapan cara melibatkannya, yang berorientasi pada melepas teman imajinatif.

Anak diminta berdialog dengan teman imajinatifnya, yang dimulai dari menanyakan apa yang masih dingat anak akan trauma anak di masa lalu, kemudian setelah dijawab anak, psikolog atau psikiater meminta anak menghadirkan sosok imajinatif itu, dan menanyakan apakah teman imajinatifmu mengalami hal yang sama, kemudian menanyakan apa yang pernah anak nasehatkan pada teman imajinatifnya.

Dilanjutkan dimana teman imajinatif itu berada di bagian tubuhnya, atau di keseluruhan tubuh. Biasanya jawaban anak menunjukkan disanalah ia paling sering merasakan sakit akibat kekerasan dan trauma. Kemudian psikolog atau psikiater meminta anak berdialog sesuai dengan yang di sarankannya. Sampai benar benar anak lepas dari trauma dan berujung menghilangkan teman imajinatif dengan sendirinya.

Anak anak juga di minta mengambil beberapa kartu bergambar perasaan, bergambar keinginan, bergambar situasi kehidupan. Kemudian mereka memilih. Psikolog dan psikiater meminta mengelompokkan kartu kartu tersebut dalam “apa yang sedang dirasakan” dan “apa yang sedang diinginkan” dan “apa yang sedang merasa terganggu”.

Dari pemilihan kartu tersebut, psikolog dan psikiater memetakan perasaan anak, dan mencoba mengungkap darimana asal perasaan yang di wakili kartu kartu tersebut.

Metode ini digunakan karena anak sudah tidak ingin terlihat, kecuali ke orang yang dikenalnya. Sehingga anak anak yang sudah menghadirkan teman imajinatif sangat sensitif dengan orang disekitarnya.

Hasil pertemuan dengan anak, dilanjurkan sessi pertemuan orang tua. Disanalah terungkap dan terjawab perihal kartu kartu tersebut.

Anak anak yang sudah menghadirkan teman imajinatif, seringkali tidak bisa mengendalikan teman imajinatifnya, karna sesungguhnya itu adalah dirinya yang berisi trauma masa lalu atau sekarang. Sehingga seringkali ketika lingkungan tidak memahami itu, maka situasi anak dengan teman imajinatif akan lebih buruk, dengan ditandai ingin bunuh diri, memnyanyat tangan dan anggota tubuh lainnya, self harm, potong rambut, membenturkan kepala dan anggota tubuh lainnya ke benda keras, mengancam orang disekitarnya, panik tanpa alasan, tremor di salah satu anggota tubuh atau bergetar padahal ia tidak menggerakkan, memukul sesuatu obyek tanpa alasan, menangis tiba tiba, berteriak tiba tiba, ketawa tiba tiba, riang secara tiba tiba. Semua gejala ini perlu di dalami ke psikolog atau psikiater, atau psikososial, psikoklinis, peksos, konselor. Agar tidak terlambat ditangani.

Orang tua dan teman teman juga harus menghindari kalimat negatif, kalau tidak tahu apa yang harus dikatakan atau lakukan, bisa menggantikannya dengan kalimat “tenang saja aku akan mendukungmu, kamu kuat, kenapa, ada yang bisa kubantu, jangan khawatir teman temanmu semua akan mendukung, memeluk anak, memberinya ruang aman, menjaga privasi apa yang dialaminya, menjaga rahasianya, memberi pemahaman tanpa di ketahui anak kepada orang orang sekeliling agar tidak mengejek atau stigma” karena ia butuh lingkungan yang diciptakan agar segera pulih.

Sekolah juga bisa mengrangi beban nilai, dengan menugaskan hal baru yang lebih segar dalam rangka pemulihan.  Karena ketakutan anak ketinggalan pelajaran. Karena anak anak seperti ini lebih memilih melupakan apapun, karena berharap dengan itu trauma mereka juga hilang, sehingga anak anak tersebut cenderung sulit berkonsentrasi, maka terbayang ketika orientasi sekolah masih sama dalam tugas tugas pembelajaran.

 

Salam Redaksi

KBAI

Check Also

Caper Lo: Hilangnya Apresiasi Di Masa Remaja

Seringkali kita mendengar remaja kita, membully secara psikologis dengan sebaya, dengan kata Caper Lo!!!. Padahal …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *