Rentetan Kasus Kekerasan Anak Di Januari 2020, Generasi Kita Terancam Lemah Mental

Potret awal tahun 2020 menjadi Januari kelabu, dimana media tidak berhenti memberitakan kasus kekerasan anak setiap hari. Tentunya menjadi keprihatinan kita semua.

Paralel dengan itu, sebenarnya alarm keras sedang berbunyi, mengingatkan kita kembali untuk meneguhkan diri membangun mekanisme pengawasan dan pencegahan yang lebih efektif.

Bahkan belum selesai berita ini diketik, mesin pencari tablet berbunyi, mengabarkan Tribunnews yang memberitakan Guru memukul kepala muridnya dengan besi net Volley akibat tersinggung. Hal ini mengakibatkan muridnya pingsan, pelipis robek dan trauma. https://jatim.tribunnews.com/2020/01/20/guru-di-lamongan-pukul-kepala-siswa-pakai-tiang-besi-ledekan-nangka-busuk-berujung-penganiayaan


Hal tersebut menjadi kisah relasi kuasa yang tidak imbang, dan berakhir menjadi kekerasan, dengan luka batin bagi para korban. Anak anak tidak mampu melawan orang orang kuat di sekitar mereka, mereka tidak ada pilihan harus menerima kekerasan itu. Karena ancaman akan terjadi kembali jika mereka melawan.

Kisah seorang anak mengalami kekerasan atau anak menjadi pelaku kekerasan dan anak berakhir dihadapan hukum terjadi karena diyakini ada faktor luar yang menyebabkan.

Bahkan anak yang melakukan kejahatan dilihat dalam hukum bukan sebagai subyek hukum, melainkan pasti ada penyebab penyertanya.

Oleh karena itu Negara memberi kesempatan apapun keadaannya, anak harus diselamatkan sampai lepas 18 tahun dalam tumbuh kembangnya mencapai dewasa.

Luka fisik bisa dicari obatnya, namun luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Namun secara bertahap dan pasti anak akan mengalami lemah mental.

Alangkah eloknya jika semua calon orang tua belajar dari kisah kisah sepanjang Januari 2020 ini. Agar lebih siap menghadapi biduk rumah tangga dalam merawat anak anaknya.

Mengasuh atau merawat anak merupakan ilmu otodidak, ilmu yang didapat karena kita mewarisi cara pengasuhan orang tua sebelumnya.

Kekerasan Anak yang terjadi setiap itu diingatkan Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas (9/1) bersama para Menteri dan pimpinan lembaga. Dalam Ratas, Presiden menyampaikan data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak).

Dari data yang luar biasa itu, Presiden meyakini ada fenomena gunung es, yang berarti data tersebut hanya yang kelihatan dan diberitakan, tetapi dibawah sana peristiwa serupa sebenarnya banyak terjadi.

Dan apa yang disampaikan Presiden tak butuh waktu lama. Kita menyaksikan Januari 2020 tiap hari kisah kekerasan anak terjadi. Bahkan boleh dibilang modusnya dan caranya diluar batas kewajaran dan nalar.

Kisah yang menyita terakhir, adalah anak 14 tahun #RIPNadia yang memutuskan bunuh diri, karena merasa tidak ada tempat di dunia untuk anak sepertinya.

Apakah boleh kita membayangkan langkah beraninya melompat dari lantai empat itu dan terhujam kebawah dalam waktu sangat singkat.

Dengan menghubungkan surat terakhirnya yang ingin sekali jalan jalan bersama Bundanya ke mall. Padahal saat menulis surat itu Bundanya sejak Maret 2019 sudah di alam baka.

Namun kita tidak bisa mendahului kepolisian yang sedang mendalami kasusnya, apalagi membayangkan kejadian sesungguhnya dan bertanya ke Nadia, sangat tidak mungkin, karena Nadia sudah tiada. Kita tunggu kepolisian mengungkap kejadian yang sebenarnya.

Kembali kepada pernyataan surat Nadia itu, juga menjadi pertanyaan buat kita para orang tua. Anak kita sekarang sedang berada dimana? Dalam kondisi apa? Apa yang sedang ia fikirkannya? Dan mereka sedang ingin apa? Ketika terjadi kekerasan antar teman, anak kita dimana? Ketika terjadi kekerasan antar orang tua atau pasangan, anak anak kita dimana?

Kita berharap anak anak kita tentu baik baik saja, namun kenyataannya anak anak tidak memahami, bahwa setiap saat kondisinya bisa terancam atau dalam bahaya.

Bahkan untuk mengancam anak anak sekarang tidak perlu melakukan kekerasan fisik, cukup menbully di medsos bisa mengantarkan anak anak kita pada resiko yang terburuk.

Untuk itu hal hal perhatian kecil sejak sekarang menjadi teramat penting, dalam mengurangi bahaya disekitar mereka. Karena ketika sudah kejadian atau menjadi korban, menjadi penyesalan yang tiada guna.

Diluar sana, kita berharap ada langkah sistemik yang dilakukan Negara yang dapat berdampak luas untuk menguatkan perlindungan anak anak kita,agar terhindar dari kekerasan. Meski kita yakin, sangat besar effort Negara mengurus sedari dulu ini semua.

Kita meyakini, sebenarnya tidak ada orang tua yang jahat. Atau kita yang mengalami dijahati orang tua dulu, meyakini itu karena ketidaktahuan mereka dan tidak tahu ingin berbuat apa saat itu. Karena keterampilan dan teknik mengasuh, misalnya menjadi persoalan utama.

Oleh karena itu sekecil apapun komitmen dan langkah yang kita buat sekarang sebagai orang tua, akan sangat menentukan masa depan anak anak kita.

Terakhir, melindungi anak tidak bisa masuk diruang domestik dan hampa atau perlindungan itu milik anak itu hanya milik anak kita saja.

Kenapa? Ibaratnya, didepan kita anak tidak akan jatuh. Tetapi jatuhnya dihalaman rumah tetangga. Didepan kita anak baik baik saja, tetapi setelah bertemu berinteraksi mereka berubah.

Artinya semangat anak anak terhindar kekerasan, harus menjadi emangat bareng bareng semua orang tua. Tanpa terkecuali.

Kalau boleh para orang tua berikrar bersama, bahwa tidak ada sejengkal tanah pun dari NKRI yang luput dari pengawasan kita semua. Karena mereka semua anak anak kita. Anakku, anakmu, anak kita semua.

Semoga kekerasan anak dapat dicegah kita bersama. Amin

Salam Redaksi,
KBAI


Check Also

Alat Kontrasepsi, Perdebatan dan Kekhawatiran Nakes

Dunia jagad pendidikan kita, baru saja diramaikan perdebatan alat kontrasepsi. Hal itu terjadi karena pencantuman …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *