Bicara air adalah bicara hajat hidup orang banyak. Tapi apakah air menjadi barang mahal, masih sangat debatabel. Tapi nyatanya, dari mulai kita bangun sampai tidur lagi, air menjadi kebutuhan pokok.
Mulai dari air minum, air mandi, air cuci sampai manfaat air untuk industri. Bahkan berbagai penawaran air minum yang lebih kualitas, menjadi momok kesehatan. Apa memang air bisa dikuasai sebagian dari kita? Atau masih milik alam ini untuk digunakan siapa saja. Untuk itu ada baiknya kita menyimak sejenak Birokrasi Air.
Beningya air di tangan kita, ternyata mengalami birokrasi yang panjang. Bahwa jaminan air selalu bersih ditugaskan kepada beberapa pihak. Tentunya kita jarang mendengar bukan? Kali ini Kantor Berita Anak Indonesia mengajak kita untuk tahu lebih banyak tentang tanggung jawab beberapa lembaga sampai air bening itu di tangan kita.
Data BPS tahun 2016 menyatakan provinsi Bengkulu adalah daerah yang paling rendah dalam pencapaian air minum layak. Yang didalamnya termasuk air minum utama, air mandi dan air cuci. Lampung pencapaian air minum layak 52,41%. Papua daerah terujung timur Indonesia diangka 52,49%. Menurut data 2015, ada daerah yang kondisi air layaknya sangat menyedihkan yaitu Sintang Kalimantan Barat, yang pencapaiannya 66,19%.
Apa sih yang menjadi indikator perhitungan ini. Di Indonesia indikator air minum layak bukanlah air minum aman. Jadi ketika dalam suatu daerah terdapat sumber air dan sumber air tersebut kondisinya ‘terjaga’, walaupun jaraknya dari rumah ke sumber air jauh, maka ini sudah termasuk ada akses.
Untuk itu penting tahu lebih jauh, bagaimana jaminan air bersih dan bening sampai ke tangan kita. Mari kita simak tulisan dari Kak Dwi Resty Ariesta Dewi yang sedang menempuh S3 di University of Twente, Belanda.
Birokrasi Air Bersih di Indonesia
“Akses terhadap air bersih merupakan hak asasi manusia”
Pernyataan tersebut tertulis secara eksplisit dalam hasil sidang umum PBB pada tanggal 28 Juli 2010 (Resolution A/RES/64/292. United Nations General Assembly, July 2010) yang mengadopsi dari General Comment No. 15. The right to water. UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights, November 2002. Dalam dokumen tersebut mendefinisikan bahwa hak atas air merupakan hak setiap orang untuk memperoleh air yang cukup secara kuantitas, aman secara kualitas, dan mudah diakses secara fisik (terjangkau) untuk keperluan pribadi dan domestik.
Dengan adanya penyataan tersebut, maka PBB melalui programnya Millenium Development Goals (MDGs) mempunyai goal untuk memastikan keseimbangan lingkungan hidup (goal 7), yang termasuk di dalamnya adalah akses terhadap air minum yang layak dan sanitasi dasar. Program tersebut sudah berakhir pada tahun 2015 dengan hasil 91% dari populasi dunia sudah mendapatkan akses terhadap air minum yang layak (improved drinking water). Kemudian PBB melanjutkan program tersebut melalui Sustainable Development Goals (SDGs) dimana PBB mempunyai target 100% populasi di dunia (universal access) pada tahun 2030 bisa mendapatkan akses air minum yang aman. Bagaimana peran Indonesia dalam hal tersebut?
Pemerintah Indonesia melalui kebijakan yang tertulis dalam RPJMN 2015-2019 mempunyai target 100% penduduk Indonesia mendapatkan akses terhadap air minum melalui tiga pendekatan yaitu dari sisi permintaan, penawaran, dan lingkungan. Lalu, apakah akses yang dimaksud adalah akses layak atau akses aman? Akses yang dimaksud adalah akses layak. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, maka terdapat beberapa instasi yang terlibat dengan perannya masing-masing, yaitu:
- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merupakan instansi yang memegang peranan sebagai perencana. Menurut Bappenas, program Pemerintah Indonesia terkait akses air bersih saat ini merupakan program yang menggabungkan goal dari SDG dan indicator dari MDG. Karena Pemerintah Indonesia menargetkan untuk memperoleh akses air minum yang layak (belum mencapai akses aman) baik di daerah pedesaan maupun perkotaan (universal akses).
- Kementeriaan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) merupakan instansi yang bertanggung jawab dalam hal teknis. Kerjasama dilakukan oleh Direktorat Jendral Sumber Daya Air dan Direktorat Jendral Cipta Karya. Direktorat Jendral Sumber Daya Air memastikan ketersediaan debit air di sumber air sebelum diteruskan ke jaringan-jaringan rumah tangga. Sedangkan Direktorat Jendral Cipta Karya memiliki fungsi untuk memastikan jumlah jaringan rumah tangga baik itu perpipaan maupun bukan perpipaan.
- Kementeriaan Dalam Negeri (Kemendagri) mempunyai tanggung jawab terkait masalah administrasi instansi (pemerintahan maupun non pemerintahan) baik itu di level pusat sampai dengan di level Provinsi/Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, Kemendagri akan melakukan koordinasi dengan Pemerintahan daerah dan PDAM-PDAM setempat.
- Kementeriaan Kesehatan (Kemenkes) mempunyai tanggung jawab untuk memastikan kualitas air yang dialirkan sesuai dengan baku mutu air minum.
- Badan Peningkatan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) merupakan lembaga di bawah menteri yang ditugaskan membantu pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk meningkatkan penyelengaraan SPAM yang diselengarakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah (BUMN/BUMD) penyelenggara SPAM.
Dengan banyaknya stakeholder/instansi yang terlibat dalam rangka mewujudkan 100% akses air minum yang layak di Indonesia tahun 2019 tersebut, maka tantangannya adalah koordinasi antar instansi di setiap level pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang ada saat ini sudah cukup lengkap, namun implementasinya masih membutuhkan kerjasama dari semua pihak baik itu dari pemerintahan/swasta/akademisi/masyarakat agar hasilnya benar-benar universal (tidak ada perbedaan antara pedesaan-perkotaan, tua-muda).
Apa Peran Generasi Muda
Untuk itu, peran generasi muda yang melek akan informasi sangatlah dibutuhkan. Misalkan dengan melakukan gerakan-gerakan masif pemuda masuk desa (voluntary) dengan membantu pemerintah desa membuatkan proposal pembangunan jaringan air minum desa kepada pihak-pihak swasta, sehingga dapat membantu pemerintah memecahkan masalah budgeting. Dengan catatan setiap kegiatan wajib dilaporkan secara sistematis kepada instasi-instasi yang terkait, agar datanya tersinkronisasi baik itu dari segi teknis, biaya, dan administrasi.
Dwi Resty Ariesta Dewi, S.Pi., M.I.L
PhD Candidate of Department of Governance and Technology for Sustainability (CSTM)
Faculty of Behavioural, Management and Social Sciences
University of Twente – The Netherland