Link Diskusi Selasar – Selalu Semangat Belajar. Silahkan klik di https://youtu.be/GOwhck1Iatk
Jasra Putra Komisioner KPAI menyampaikan Undang-Undang 35 tahun 2014 perubahan pertama dari UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 15 menyebutkan “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik”.
Selanjutnya di Pasal 76 H menyatakan “Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa, juncto Pasal 87 ancaman pidananya bahwa Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76H dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 100 juta.
Namun pada kenyataannya bentuk-bentuk penyalahgunaan anak dalam politik ekskalasinya meningkat, karena dorongan memenangkan pertarungan.
Sayangnya ada 4 anak meninggal di Pemilu kemarin. Ini membuktikan politik yang sudah membahayakan perlindungan jiwa anak seperti mempersenjatai anak, menghasut anak/ujaran kebencian, memanfatkan anak untuk memberikan money politik, kampanye terbuka membawa anak dibawah usia 17 tahun/balita, memobilisasi teman sebaya. Sudah seharusnya hukuman berjalan efektif, namun kenyataannya implementasi UU Perlindungan Anak dan UU Pemilu masih jauh menerapkan sanksi tegas kepada pelakunya.
Artinya, tidak ada sangsi pelibatan anak dalam penyalahgunaan pemilu, menyebabkan ‘harusnya’ ada tahapan yang lebih konkrit disiapkan penyelenggara pemilu untuk menyelamatkan 83 juta anak anak Indonesia.
Namun pelarangan pelibatan anak dalam kegiatan politik, bukan untuk di pahami sebagai larangan berpolitik, karena itu hak anak. Yang dilarang adalah pelibatan dan penyalahgunaan anak dalam politik praktis dan saat masuk jadwal kampanye.
Untuk demontrasi juga merupakan hak anak, namun ada syaratnya dengan memperhatikan tempat, aman, nyaman karena kondisi kognitif atau pemahaman dan perkembangan emosional yang beragam dari setiap anak yang perlu perhatian lebih.
Peserta Diskusi Selasar
Heri Febridiansyah salah satu peserta diskusi Selasar menyampaikan pengalamannya saat mencoblos 2019. Untuk mencoblos Capres informasi sudah sangat banyak. Tetapi untuk DPR dan DPRD mereka bingung alias ‘asal coblos’.
Ketika ditanya admin zoom terus mencoblos siapa? Heri menjawabnya ‘yang kelihatan menarik saja’. Ia juga menjelaskan mendapatkan KTP sebulan sebelum pemilu di selenggarakan, sehingga diajak ikut mencoblos.
Lain lagi peserta diskusi Selasar dari Banca Aceh yaitu Chairani Zuhra AS, di Pemilu yang lalu, ia diajak orang tua pergi ke kampanye caleg, ia mendapatkan uang dan bingkisan sembako. Bagi orang tua, anak anak dapat membantu orang tuanya dengan alasan ekonomi. Ia juga melihat kehadirannya di banggakan caleg yang sedang kampanye saat itu. Meski ia tahu itu situasi yang salah.
Fadhil M Pradhana juga mengungkap waktu kampanye yang panjang di 2019, telah membekas pada anak anak. Pemilu terkesan menjadi ‘sangat kotor’.
Kenapa ‘sangat kotor’ pertama karena politik dianggap sesuatu yang abstrak yang jauh dari realita kehidupan masyarakat, kedua politik merupakan kegiatan elitis yang dilakukan elit politik dan kelompok elit dalam makna luas, ketiga perilaku politik elit dan kelompok elit yang dianggap buruk dan tidak memiliki sikap integratif dan keempat rendahnya pendidikan politik yang sistematis dan terstruktur. Hal ini dibalut dengan hoaks menjadi alat politik dan fanatisme berlebihan yang memperburuk situasi kampanye berkepanjangan.
Harusnya dampak tersebut dapat dikurangi dengan sinergi antara Forum Anak, Forum Anak Inklusif, Data Anak sebagai peserta pemilu dan anak masuk usia memilih sebelum usia 18 tahun yang dimiliki Mendagri. Tentu dengan dilaksanakan jauh jauh hari.
Bila tidak jadi sinergi, maka tidak banyak waktu yang bisa diupayakan KPU untuk menyelamatkan anak anak Indonesia. Karena sudah ada yang meninggal akibat penyelenggaraan ini. Bayangkan situasi kemarin anak anak sampai meninggal akibat penyalahgunaan politik baik sebelum kampanye, selepas kampanye dan pasca pengumuman KPU.
Temuan dilapangan itu menyebabkan mereka merekomendasikan KPU harus melakukan tahapan perbaikan dalam pelibatan partisipasi anak yang mencoblos di usia memilih 17 tahun sampai 18 tahun. Meski mereka menyadari situasi Covid 19 masih menjadi komsentrasi pemerintah.
Hal itu terungkap dari diskusi Selasar (Selalu Semangat Belajar) dengan tema Membangun Kehidupan Politik Yang Ramah Anak (6/4) dengan menghadirkan narasumber Fadhil M Pradana Kepala Sekolah HAM Anak dan Jasra Putra Komisioner KPAI bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak via Zoom Meeting yang diikuti 80 anak dari Aceh sampai Papua.
Narasumber dan peserta diskusi sepakat, sudah seharusnya penyelenggaraan Pemilu yang mundur dimanfaatkan memperbaiki tahapan dalam pelibatan anak di konstetasi 270 Pilkada di Indonesia di 2021.
Jasra Putra melanjutkan, seperti diketahui 2019 ada 45. 534 anak yang masuk usia 17 tahun. Dan anak yang lepas umur 17 tahun sejumlah 7.409.790 anak. ‘Asal memilih’ ini telah menyebabkan isu anak selalu terpinggirkan dalam pemilu dan membuat masa depan bangsa terancam suram, ketika mengadvokasi kebijakan kebijakan terkait isu anak di berbagai daerah.
Tidak ada hukuman yang tegas, bukan berarti partai politik bisa begitu saja melibatkan anak, karena dalam Undang Undang Perlindungan Anak menyampaikan, pelibatan anak penting mempertimbangkan usia dan perkembangan.
Di Forum Anak lebih mengenalnya dengan 4 pilar, mungkin kalau terjemahkan pada pelibatan hak politik anak menjadi, pertama anak di beri kapasitas mengenal calon yang akan dipilih, kedua kemudian melibatkan di lapangan apa yang sudah dilakukan partai melalui calon calonnya, ketiga kmudian memastikan perlindungan anak ditingkat lokal menjadi visi misi partai dan calon, begitupun pasca berhasilnya atau tidak berhasilnya partai atau caleg memenangkan pemilu kembali melibatkan anak dalam hal apakah usulan anak itu dijalankan partai atau ketika tidak bisa, apa faktor penghambatnya, jelas Jasra.
Kapan Forum Anak dan partai bisa menjalankan hal tersebut? Ilma Sovri Yanti dari Aliansi Kita Bersama Anak Indonesia menyarankan waktu yang tepat edukasi jiwa kepemimpinan dan edukasi hak politik anak yang memasuki usia 17 tahun ataupun sebelum lewat umur 18 tahun adalah sebelum masuk waktu kampanye.
Baginya secara umum visi dan misi partai juga diterjemahkan caleg di daerah masing masing. Artinya sebelum kampanye hal tersebut dapat dilakukan, jelas Ilma yang secara terpisah dihubungi via telepon.
Saya kira ini jadi prasyarat dari penyelenggara Pemilu untuk para peserta yakni partai partai. Dan saya mengusulkan agar komunitas Forum Anak yang dilibatkan lebih inklusif, lebih memperhatikan keragaman komunitas atau aktifitas anak yang dilibatkan.
Meski sebuah keniscayaan para calon ketika tidak melibatkan anak, karena mereka memiliki anggota keluarga atau memiliki anak. Tetapi justru mereka harus mengajarkan anak mereka berpartisipasi yang tepat.
Bisa juga Forum Anak mengundang pada caleg untuk membangun kesepahaman bersama tentang upaya upaya perlindungan anak di tingkat lokal. Tentu dengan pengawasan dan tertutup lokasinya, jelas Ilma. Sebagaimana mengacu regulasi partisipasi anak dalam pembangunan.
Jasra Putra melanjutkan penyalahgunaan anak dalam politik praktis meski menurun dari tahun kemarin, namun dari segi anak anak yang terlibat jumlahnya lebih banyak.
Karena KPAI menghitungnya dari kasus yang terjadi dan lokasinya, tapi kalau melihaat laporan dan foto foto yang dilaporkan kepada KPAI, anak anak bisa ratusan hadir dilokasi kampanye dalam kegiatan politik praktis tersebut.
Admin diskusi menjelaskan, diskusi Selasar online via zoom kali ini diikuti 80 orang peserta dari berbagai Indonesia. Permasalahan mengatur waktu memang menjadi diskusi grup Forum Anak, karena waktu yang berbeda masing masing daerah di Indonesia berbeda, namun akhirnya diskusi yang dimulai jam 19.00 itu berjalan efektif 2 jam 16 menit.
Sebelumnya Jasra Putra Komisioner KPAI menghubungi Kantor Berita Anak menyampaikan informasi kegiatan Selasar tersebut dan mengirimkan videonya.
Baginya informasi ini penting dan harus dilanjutkan, secara khusus Jasra memperhatikan anak anak tuna netra yang punya hak akses informasi yang sama dalam membangun kapasitas mereka, tutupnya.
Dalam kesempatan tersebut, KPAI juga menyampaikan 16 bentuk penyalahgunaan anak dalam politik yang disari dari Konvensi Hak Anak dan Undang Undang Perlindungan Anak yaitu :
- Memanipulasi data anak sebagai pemilih
- Menggunakan fasilitas anak seperti sekolah dan ruang bermain untuk kampanye
- Memobilisasi massa anak untuk kampanye
- Memanfaatkan anak sebagai juru kampanye
- Menampilkan anak sebagai bintang kampanye
- Menampilkan anak di atas panggung kampanye
- Menggunakan anak untuk memasang dan memakai atribut politik
- Melibatkan anak dalam politik uang dan sejenisnya
- Mempersenjatai anak atau memberikan benda berbahaya pada anak saat kampanye
- Melibatkan anak anak untuk melakukan hal hal yang dilarang selama kampanye
- Membawa bayi dan anak dibawah 17 tahun ke arena kampanye
- Melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dalam kampanye
- Melakukan diskriminasi terhadap anak
- Memprovokasi anak untuk memusuhi calon atau partai politik tertentu
- Melibatkan anak dalam sengketa hasil perhitungan suara
- Pemilih pengganti