Meski data pengaduan pada kasus kekerasan seksual, jumlahnya sangat jauh jumlahnya dari Data SIMFONI KPPPA dan data pengaduan kasus kekerasan seksual di Kepolisian. Namun ada karakteristik berbeda, Di mana data pengaduan yang masuk ke KPAI adalah kasus yang mengalami hambatan keadilan.
Komisioner KPAI Dian Sasmita menyampaikan data di lembaganya memang tidak ada 10 persen dari data SIMFONI. Namun data yang masuk ke KPAI adalah kasus yang mendapat hambatan keadilan. Penyebabnya bisa karena layanan tidak ada atau petugas belum memahami isi UU TPKS.
Dian mencontohkan, hambatan pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Kepolisian, sehingga ada penundaan korban mengakses keadilan. Salah satunya belum cukup bukti, meski sudah ada keterangan korban, ada keterangan saksi korban (ibu, tetangga) yang mendapatkan cerita pertama korban, kemudian visum. Namun bukti tersebut di anggap penegak hukum belum cukup. Sehingga situasi ini sering dimanfaatkan oknum untuk intimidasi korban.
Kemudian, akses korban terbatas. Bahwa di Indonesia belum semua kabupaten dan kota memiliki UPTD PPA, hanya 254 jumlahnya, Karena dengan ketiadaan UPTD PPA berakibat besar kepada korban. Ketika korban mencari akses layanan, pendampingan. Bahkan mau lapor kemana tidak bisa, tidak tahu. Mau visum saja sulit, harus gimana.
Seperti kasus di Flores Timur, sampai September ini, korban masih diminta bayar visum sebesar 300 ribu. Padahal mayoritas kondisi ekonomi korban ekonomi kelas bawah. Sehingga tambah terpuruk, tambah Dian.