Home / KBAI Reportase / Fenomena Jilbab Dan Pentingnya Edukasi Pendidikan Jiwa

Fenomena Jilbab Dan Pentingnya Edukasi Pendidikan Jiwa

Sebelum kita terjebak pada alasan pro kontra ‘jilbab’, yang sebenarnya dalam agama apapun, berkembang berbagai tafsir, dari sumber yang diambil. Sehingga menyebabkan tafsiran sangat lah dinamis dan terus berkembang. Akibat manusia berada di ruang hidup, bukan ruang mati dalam menjalankan suatu perintah.

 

Sehingga fenomena jilbab karena Allah menciptakan perbedaan itu sendiri. Karena Tuhan menginginkan keragaman dan perbedaan itu di kelola manusia untuk saling kenal mengenal, bukan mempertentangkan apalagi kekerasan, seperti yang dialami beberapa siswa terkait fenomena jilbab.

 

Apalagi fenomena jilbab pada anak, dalam Undang Undang terkait anak, anak tidak ditempatkan sebagai subyek hukum. Karena kondisi anak yang mudah dikuasai secara fisik, secara kognitif atau pemahaman mudah di biaskan atau di belokkan dan secara psikologis belum matang. Sehingga anak anak lebih mudah di tekan, tanpa melibatkan kesadaran sepenuh penuhnya, karena kelemahan tersebut. Sayangnya tekanan tanpa kesadaran itu, dapat berdampak besar, dengan psikologis mereka, fenomena anak dengan kejiwaan yang mudah terguncang, menjadi pemandangan rutin sehari hari.

 

Karena kita meyakini, kalau alasan dengan fenomena jilbab, ingin ada transfer nilai nilai kebaikan, sebenarnya, mempersyaratkan tumbuh dan kembang yang kondusif, nilai positif, untuk anak. Sedangkan pemaksaan hanya akan berdampak pada kejiwaan yang menganggu tumbuh kembang.

 

Bicara soal fenomena jilbab di dalam lembaga pendidikan, sebenarnya UU Sistem Pendidikan Nasional menekankan filofis mendidik, yang diawali dengan mengolah jiwa, dari jiwa itulah anak anak di harapkan menjadi orang yang merasakan butuh terdidik.

 

Dan Undang Undang tidak meminta lembaga pendidikan merusak jiwa mereka dengan fenomena jilbab. Karena dengan pemberitaan saati ini sangat jelas, dampak yang dialami anak sangat merugikan, kita bisa mengukur, bahwa generasi pendidikan yang di hantam bertubi tubi psikologisnya, akhirnya lebih memilih keluar.

 

Situasi ini menghadapkan anak anak pada pemahaman berbagai standard ganda yang di lakukan pendidikan. Tadinya anak adalah generasi peniru ulung, bukan pendengar yang baik. Tetapi dengan peristiwa ini, anak anak menjadi generasi yang bingung, galau, dengan pembahasan pro kontra, yang sebenarnya jauh, dari jawaban kebutuhan anak sesungguhnya, terutama yang menjadi korban atas fenomena jilbab ini.

 

Kita lebih melihat anak anak yang lebih mudah terserang kejiwaan. Dari pilihan anak keluar akibat persolan ini. Tetapi bukan menjadi generasi terdidik atas persoalan ini, Artinya ada apa dengan lembaga pendidikan kita. Dan sekali lagi, bentuk pemaksaan yang berbau kekerasan hanya akan membentuk generasi serba salah. Dengan ukuran kejiwaan yang kini dapat kita lihat dampaknya.

 

Sehingga fenomena jilbab yang dipaksakan kepada anak, bukan menjadi sebuah pilihan, tetapi lebih merusak akal sehat anak, yang akan berdampak pada kejiwaan. Tentu saja yang namanya ‘pemaksaan’ apapun bentuknya, membawa kesakitan, pesakitan, yang menempatkan anak anak dalam situasi yang lebih buruk. Karena mereka butuh tumbuh kembang yang mengedepankan nilai, rasa, karsa, bukan paksa.

 

Dengan fenomena jilbab, sebenarnya  kita sedang dijauhkan dengan permasalahan lembaga pendidikan kita, yang sesungguhnya ada yang lebih penting an pritoritas, menjadi pemenuhan hak anak, sebagaimana konsensus kita dalam konstitusi UUD 1945 yang menyatakan anak harus bebas dari diskriminasi, begitupun UU Perlindungan Anak menjelaskan lebih lengkap lagi, yang memberikan kesempatan anak terlindung hingga 18 tahun. Dari segala hal yang menganggu tumbuh, kembang, jiwanya.

 

Tetapi fenomena jilbab ini semakin menegaskan, perihal dosa dosa besar pendidikan yang disampaikan Pak Menteri, yaitu pertama, pendidikan yang memilih ‘melangengkan kekerasan’ sebagai cara mendidik. Kemudian kedua, menyembunyikan kasus pencabulan, pelecehan dan kekerasan seksual. Ketiga, sekolah memilih pendidikan intoleransi yang di susupi berbagai kepentingan yang sulit dipahami anak. Dan terakhir kepentingan bisnis pendidikan yang serampangan dengan menggunakan alasan alasan sensitif, seperti menggunakan tafsir agama secara serampangan.

 

Dengan melihat fenomena pendidikan kita hari ini, dan dampaknya pada peserta didik, kita baru menyadari, sebenarnya ruh pendidikan benar benar ‘telah pergi’ dari sekolah sekolah yang berhadapan dengan fenomena ‘jilbab’, baik guru dan murid muridnya, semua hanya di jebak dalam rutinitas, formalitas, bisnis atas kepentingan tertentu dan terjebak rutinitas yang memenjarakan guru dan anak itu sendiri.

 

Dari fenomena kisah jilbab ini, sebenarnya kita sedang dipertontonan masalah sesungguhnya pendidikan kita yaitu, meski secara fisik anak dan guru hadir di sekolah, tetapi jiwa mereka sebenarnya berada di luar tembok sekolah. Karena begitu banyaknya beban pendidikan, padahal pendidikan dapat berjalan bila insan terdidik dapat berfikir merdeka, independen, kritis, sehingga membentuk karakter.

 

Kalau saya  sebagai muslimah, agak aneh, sih ya, fenomena jilbab ini. Karena Rasulullah saja mengajarkan pendidikan anti kekerasan pada anak. Contoh saat Rasulullah  sujud dan dinaiki seorang anak. Rasul menunggu anak itu sampai turun dari sujudnya. Bukan memukul. Makanya saya cukup aneh kalau ada pemandangan rumah ibadah yang meneriaki anak, apalagi sampai memukul, ketika pelaksanaan ibadah. Begitu juga fenomena jilbab yang terjadi belakangan di lembaga pendidikan kita.

 

Saya kira agama secara sadar menyampaikan ajaran, pentingnya menanti kematangan anak dalam berfikir dan bertindak. Seperti menanti akil baligh dalam Islam. Karena kita sadar, apa yang dilakukan anak anak hari ini, bukan dari keinginannya, tapi meniru saja. Dan belum tentu apa yang kita anggap buruk untuk anak hari ini, pada saat anak dewasa nanti, ia akan terus berlaku buruk.

 

Artinya ketika fenomena jilbab, anak anak lebih memilih keluar sekolah, Yang jadi pertanyaan besar, pendidikan model seperti apa?, yang sebenarnya mau kita terapkan untuk anak anak kita?

 

Disinilah harusnya kita melihat fenomena jilbab, bukan sebagai pro kontra, bukan menghukumi anak, hingga mengalami gangguan perilaku dan gangguan kejiwaan, kemudian anak memilih keluar dari sekolah. Karena toh, fenomena ini berakhir, anak anak yang semakin menjauhi pembahasan pro kontra orang dewasa, anak anak masih menghadapi problem yang sama, misal bagaimana memahami pelajaran tertentu, bagaimana bisa seperti mereka yang berkualitas mendapatkan pendidikan, bagaimana anak mendapatkan pendidikan yang disuakinya. Tentu ini menjadi pemandangan yang sungguh tidak adil untuk anak.

 

Sehingga penting cara pandang kita, dalam menjawab fenomena jilbab ini, tidak berada di ruang hampa atau beku,  apalagi ruang memaksa, menancapkan simbol simbol, dengan menusuk fisik, membunuh karaktek peserta didik. Bagai fitnah yang dinyatakan kejam dari pembunuhan.

Tapi kalau kita mau konsisten, terhadap pelanggaran hak anak, jangan terlalu jauh membahas pro kontra fenomena jilbab, tapi bermasalah lah kepada guru guru yang melanggar hak anak, akibat guru tidak punya kompetensi dalam menghadapi anak, sesuai usia, tumbuh dan kembangnya. Bukankah perlu di hukum guru ini, dengan di skors, yang diisi dengan belajar lagi filosofis UU Sistem Pendidikan Nasional yang mengedepankan pendidikan jiwa dan kesadaran anak?

 

Maka Bermasalahlah!!!, ketika sekolah  tidak mendapatkan pelajaran apa apa dari persoalan ini? Hanya pengulangan, tidak berubah cara penanganan.

 

Maka belajarlah dari sekolah sekolah yang mampu mengelola perbedaan dan keragaman, menjadi keunggulan dan potensi anak, bukan selalu menjawab masalah anak dengan penyeragaman, yang berakhir tertutupnya potensi anak yang lain. Salam Hormat (ISY)

Check Also

Catur Sigit: Mudik Inklusi Disabilitas Tempuh Arus Balik

Mudik Inklusi Ramah Anak dan Disabilitas (MIRAD), yang sebelumnya pada arus mudik memberangkatkan 278 disabilitas, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: