Elkape: Jutaan Anak Terancam Kehilangan Layanan Dasar Karena Orangtuanya PHK

BPJS Ketenagakerjaan menyampaikan 600 ribu lebih pekerja di PHK. Hal ini diungkap pada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan komisi IX DPR RI pada 1 April 2020.

German Anggent Direktur Elkape yang juga koordinator hubungan antar lembaga BPJS Wacth menyampaikan agar kepesertaaan para pekerja di BPJS Ketenagakerjaan diperhatikan hak haknya sesuai Undang Undang BPJS. Sebagai badan hukum publik yang kepemilikannya adalah milik peserta, mereka punya kewajiban memikirkan skema dan advokasi para pekerja tersebut.

Lebih dalam lagi, ia mengkhawatirkan dengan PHK berarti hilangnya penopang hidup keluarga. Yang kalau di analisa lebih dalam akan menjadi ancaman kehidupan ekonomi dan kesejahteraan para pekerja.

Di lain hal puluhan juta pekerja yang dirumah dan mereka yang masih bekerja namun situasi bekerja sama sekali sudah berbeda. Artinya mereka mengalami ketidakpastian, kapan akan dipanggil kembali bekerja oleh perusahaannya.

Kalau diasumsikan 600 ribu pekerja, dikali setiap keluarga pekerja memiliki 3 anak, maka ada 1 juta 800 ribu keluarga. Bagaimana solusi untuk mereka? Karena mereka masuk kategori data baru kemiskinan. Dengan tidak bekerja dan dirumahkan, masalah selanjutnya adalah iuran yang dihentikan perusahaan kepada BPJS.

Ada 3 aspek yang menjadi rentetan kondisi pekerja dan perlu menjadi perhatian BPJS. Pertama dari aspek kesehatan, jaminan kesehatan keluarga otomatis terhenti. Karena tidak berpenghasilan. Namun penting mengingatkan peran BPJS tentang aturan pekerja yang di PHK atau mengundurkan diri, bahwa mereka masih ditanggung selama 6 bulan meski tidak membayar jaminannya.

Bahkan bila 6 bulan berikutnya tidak mendapatkan kerja, maka otomatis masuk menjadi peserta penerima bantuan iuran. Artinya ada aturan yang mengakomodir hak konstitusional pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

Meski faktanya kebijakan ini sejak 2014 masih menyisakan persoalan. Dan pada pendemi ini beban BPJS akan semakin meningkat, dengan terus meningginya kurva penderita Covid 19, meski harus dibeda bedakan perdaerah (kabupaten dan kota). Ada yang menurun dan ada yang meninggi. Namun dampak massif para pekerja kontrak terus berjalan, baik di wilayah kerja di sektor formal dan informal.

Pekerjaan Rumah kita selanjutnya adalah anak anak mereka, ibu yang akan melahirkan dari keluarga pekerja PHK ini, BPJS perlu mengedukasi petugas dilapangan agar mereka tetap masuk jaminan pembiayaan.

Kedua disisi aspek keselamatan kerja, dengan hilangnya atau berhentinya jaminan ketenagakerjaan maka segala resiko yang terjadi ditanggung sepenuhnya oleh pekerja putus kontrak tersebut

Ketiga, karena mereka kelompok miskin baru, mereka tidak masuk skema pendataan orang yang mendapatkan bantuan. Oleh karena itu perlu segera mendudukkan persoalan ini dengan kementerian dan lembaga terkait, dalam hal mendefinisikan kembali kriteria kemiskinan, terutama mempertimbangkan dari dampak Covid 19. Hal tersebut dilakukan melalui pemutakhiran data, updating data dan kategori miskin yang baru. Dan perlu langkah luar biasa melihat data yang besar ini agar mendapatkan implementasi yang bersifat segera.

BPJS Ketenagakerjaan juga sudah mengantisipasi dengan menyalurkan program Lapak Asik dan Sapa ASIK melalui Komisi IX DPR RI, dengan menyalurkan bantuan untuk pekerja yang di PHK dan dirumahkan. Hanya saja masih sangat terbatas, sedangkan disisi yang lain ada pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan yang belum dipenuhi hak konstitusionalnya.

Untuk itu penting mendorong BPJS Ketenagakerjaan terus konsisten merealisasikan dukungan kepada mereka peserta BPJS yang di PHK, dirumahkan dan yang masih bekerja dengan situasi perusahaan yang tidak normal.

Secara ekonomi kita mengetahui bersama, bahwa industri terdampak Covid 19 sangat sulit bangkit dan tidak tahu sampai kapan? Untuk itu secara bertahap Elkape dan BPJS Wacth menyarankan program pemerintah untuk menjawab era transisi new normal. Agar orang yang di PHK dan miskin baru ini bisa memulai hidup baru dan juga memperoleh daya tahan hidup dengan produktif kembali.

Namun memang beban ke depan masih dinamis akan terjadi, seperti rencana memulai pembukaan sekolah, yang mungkin bisa akan menambah pemikiran mereka. beban beban ini bisa dikurangi pemerintah, agar mereka fokus dapat bekerja kembali.

Untuk menghadapi situasi dinamis ini, German menyarankan koordinasi antar Kementerian dan lembaga penting mendefinisi ulang siapa yang termasuk kelompok rentan. Klasifikasi diperjelas, bagaimana mereka dan dari kelompok yang mana. Apakah mereka kelompok rentan yang punya harapan atau tidak ada harapan? Yang punya harapan artinya mereka kelompok produktif punya kemampuan, tapi bagaimana mereka dibantu pemerintah dalam jangka waktu tertentu.

Tetapi yang tidak mampu, bisa terbayangkan, dimasa kosong ini, mereka sangat mengharapkan bantuan terus menerus. Negara juga bisa memberdayakan komunitas.

Sehingga masa transisi new normal ini dapat dihantarkan dengan baik untuk anak anak dari para pekerja yang membutuhkan dukungan dan pendampingan. Karena bagaimanapun masa depan bangsa di era Covid 19 ini butuh mereka yang kuat, energik dan otentik. Yang secara independen itu hidup di jiwa anak anak, remaja dan yang muda. Dan itu ditentukan dari cara kita merespon situasi dinamis dan penanganannya, tutup German.

 

 

Check Also

Alat Kontrasepsi, Perdebatan dan Kekhawatiran Nakes

Dunia jagad pendidikan kita, baru saja diramaikan perdebatan alat kontrasepsi. Hal itu terjadi karena pencantuman …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *