Home / KBAI Reportase / Guru BP: Pendidikan Karakter Atau Pembunuhan Karakter

Guru BP: Pendidikan Karakter Atau Pembunuhan Karakter

Link Berita:

6 Anak Bunuh Teman Setelah Di Adukan Ke BP

https://regional.kompas.com/read/2022/08/09/083824078/saat-6-siswa-smp-di-lampung-bunuh-teman-sekelasnya-hanya-karena-diadukan-ke

Pemaksaaan Jilbab, Anak Memilih  Keluar Sekolah

https://www.detik.com/jateng/jogja/d-6214895/periksa-guru-bk-sman-1-banguntapan-soal-kasus-hijab-ori-ungkap-fakta-baru

 

Dua kisah ini, hanya kiasan, bukan menggambarkan peristiwa, Hanya untuk renungan saja

 

Wajahnya tertunduk lesu, keluar dari ruangan. Memalingkan wajahnya selorong isi kelas. Ingin mencari tempat yang tak terlihat. Rokok dan es teh  menjadi resiliensinya. Tiba tiba berteriak “masa bodoh” katanya, karena ancaman dipanggil orang tua.

 

Ada lagi siswa yang keluar dari ruang yang sama, ia merasa heroik bisa mengadukan teman temannya, sikap positif ini yang selalu ditanamkan orang tua padanya, agar menjadi siswa pelopor dan pelapor untuk memutus kejahatan dan kekerasan. Namun ternyata perbuatannya itu berakhir dengan pertaruhan nyawa.

 

Belakangan peristiwa dengan aktor utama Guru BP atau yang diartikan sebagai Guru Bimbingan Penyuluhan atau Guru Konseling. Seperti menjadi wajah paling menyeramkan di dunia pendidikan kita. Karena menyebabkan anak  anak yang keluar dari sana menjadi pesakitan, tidak hanya berdampak psikologis, bahkan menjadikan siswanya  menjadi pembunuh massal.

 

Tentu saja situasi ini, tidak bisa di potret dari satu sisi. Karena biasanya ini adalah ledakan masalah lama sebenarnya, yang tidak pernah masuk radar sekolah. Tetapi bagaimana latar belakang anak yang bereaksi setelah mendengar nama Guru BP. Kita baru menyadari dampaknya begitu mendalam untuk anak. Anak anak seperti memiliki masalah yang tak pernah terurai sejak kali pertama, dan menjadi sensitif yang mengarah pada gangguan perilaku.

 

Guru BP yang seharusnya menjadi tempat curhat siswa yang membuat tenang dan kemerdekaan jiwa, berubah wajah seperti tanpa makna, dan lebih nampak seperti ruang pesakitan siswa.

 

Guru BP lebih seperti menghindar dari anak anak yang tak mau diurusnya karena berbagai sebab, dengan ancaman nilai, orang tua, dan lainnya, yang harapannya dapat membuat jera siswa. Beban Guru BP seperti berlebih dibanding guru guru lainnya.

 

Lalu, siapa yang harus disalahkan, Guru BP? Orang tua Siswa? Anak? Masalah? atau Sekolah? Kepala Sekolah? Siapa yang mau tahu persoalan anak, sebenarnya?

 

Kita seperti berhadapan jembatan putus antar mereka, yang tak pernah terkomunikasikan, tidak ada penyambung, tidak saling sambung. antara apa yang diinginkan siswa, apa yang diinginkan orangtua/wali siswa, apa yang diinginkan guru, apa yang diinginkan Guru BP, apa yang diinginkan sekolah, apa yang diinginkan pelajaran, apa yang diinginkan kurikulum, apa yang diinginkan program pemerintah melalui lembaga pendidikan

 

Lalu siapakah yang punya kewajiban menjembataninya, sehingga ada kesadaran bersama, dan membuat aturan aturan dengan kesadaran bersama, untuk mencapai tujuan masing masing itu.

 

Semoga Guru BP tidak di  tinggal sendirian?, Semoga tidak memilih Guru BP  yang killer?, semoga tidak memilih Guru BP yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan pengalaman soal mengelola dan mengenal jiwa tumbuh kembang anak? semoga tidak memilih Guru BP  dengan alasan galak? semoga tidak memilih Guru BP hanya dengan alasan agamanya lebih baik? semoga tidak memilih Guru BP yang hanya mau mengurus siswa yang manis manis saja? semoga penyelesaiannya tidak berpola sama, itu  itu lagi?

 

Kapan wajah Guru BP berubah, kapan topeng menyeramkannya bisa dilepaskan, atau direvitalisasi Guru BP dengan hadirnya Undang  Undang Pendidikan dan Layanan Psikologi yang memandatkan semua anak wajib mendapatkan layanan mengenal kejiwaannya sejak dini, dengan tenaga profesional dan layak. Seperti di Negara maju yang mensyaratkan ahli jiwa setingkat S3 hanya untuk penanganan jiwa anak di sekolah.

 

Mau dijawab apa kalau Undang Undang sudah bicara begini, entah kapan bisa dipenuhi sekolah? atau optimis pasti sekolah bisa? Kita tunggu realisasi sistemik dengan banyaknya stigma Guru BP  belakangan ini.

 

Kenapa mata pelajaran mengenal kejiwaan dan potensi jiwa belum menjadi kebutuhan sekolah sejak dini ya? Karena dulu redaksi pernah merasakan di kenalkan jiwa dan mengenal jiwa dengan metode yang ramah anak, sangat menyenangkan, bahkan teman teman ku yang semasa sekolah kurang bisa bicara, lebih mudah berdialog jika di ajak mengenal jiwa, bahkan sampai ada isian kuis atau kecenderungan cita cita, itu sangat mengasyikkan. Aku jadi mengenal jiwa dan ketenangan, dan bisa menatap masa depan.

 

Jangan jadikan ruang BP menjadi sarana untuk mengancam dan melarang, karena dampaknya seperti ini, pembunuhan, iya sama sama masuk kategori pembunuhan, meski hanya pembunuhan karakter, padahal pesan Presiden Joko Widodo kepada cita cita pendidikan kita adalah Pendidikan Karakter bukan Pendidikan Membunuh Karakter. Semoga segera ada perbaikan. Dengan tetap optimis jelang Kemerdekaan.

 

Di sisi lain, sebenarnya segala peristiwa atau perbuatan yang mengandung kekerasan baik fisik, verbal, berdampak ke psikologis dalam Undang Undang Perlindungan Anak pelakunya mendapatkan ancaman pidana atau perdata.

 

Jadi menggiring publik pada wacana pro dan kontra hanya menyebabkan anak anak menjadi korban berlapis, tetapi pelaku kekeresan psikologis anak terus menjamur, mari berfikir waras untuk masa depan anak anak. Tegakkan Undang Undang Perlindungan Anak bukan mengenggelamkannya, hukum perbuatan orang dewasa yang berdampak buruk pada masa depan anak. Beri ruang anak mengenal diri dan jiwanya, sehingga sesadar sadarnya dalam jiwa dan batinnya untuk menjadi anak bangsa yang terdidik. Bukan membunuh karakternya.

 

Sebenarnya kalau mau konsisiten dengan regulasi terkait anak, segala bentuk kekerasan baik fisik, psikis, verbal, tekanan yang membawa dampak buruk untuk anak, regulasi kita sudah sangat jelas, itu melanggar hak anak. Dan kita telah memiliki Permendikbud 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

 

Bahkan kita masih  sering alpa, tidak melihat regulasi yang lain, yang sebenarnya melekat pada anak pada setiap peristiwa yang menimpa anak di sekolah. Tidak bisa hanya di  lihat pada aspek pendidikan, karena UU Sisdiknas kita, menandaskan, soal perkembangan jiwa anak menjadi utama dan pertama sebelum masuk ke dunia belajar.

 

Kemudian PP Pengasuhan Anak kita bicara mereka yang berani mengambil peran orang tua maka siap menggantikan peran yang sama, selanjutnya UU Sistem Peradilan Pidana Anak kita bicara musyawarah mufakat dalam penyelesaian masalah anak bukan hanya di ‘kekepin’ sekolah apalagi atas alasan keamanan bisnis sekolah,

 

Begitupun, UU Kesejahtaraan Anak juga sangat memperhatikan aspek kesejahteraan sosial anak. Bukan masyarakat justru lebih sibuk mengurus pro dan kontra, sedangkan anak semakin terbelakang dan tidak mendapatkan pendidikan apapun dari kasus ini, yang realitanya anak lebih memilih keluar sekolah atau membunuh temannya.

 

Agar tidak berulang, mekanisme hukum yang berdampak sanksi  pada peristiwa pelanggaran hak anak ini, kita punya mekanisme pidana dan perdata agar itu tidak berulang, bukan lebih sibuk pada  pro kontra atau menyelamatkan diri. Agar generasi ke depan lebih mampu dari kita menghadapi persoalan anak. Bukahkah kita harus menghentikan budaya kekerasan, agar anak anak kita ke depan lebih mampu mendidik generasi berikutnya.

 

Dalam kasus pembunuhan siswa AP di Lampung Barat, terungkap korban sudah menyampaikan terancam atas stigma teman temannya, dengan kata ‘banci’. Yang jadi pertanyaan apakah guru tidak segera menindaklanjuti laporan AP, atau alergi dengan korban akibat stigma itu? Ini yang harus di telaah lebih dalam kajian kasus ini. Begitupun jarak waktu antara laporan AP kepada Guru BP dan peristiwa pembunuhan AP, apakah laporan AP segera ditindaklanjuti Guru BP? Ini menjadi point penting untuk mengetahui situasi psikologis korban dalam meminta keberpihakan atas yang dialami AP.

 

 

Check Also

Catur Sigit: Mudik Inklusi Disabilitas Tempuh Arus Balik

Mudik Inklusi Ramah Anak dan Disabilitas (MIRAD), yang sebelumnya pada arus mudik memberangkatkan 278 disabilitas, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: