Kasus Self Harm: UU PLP Minta Segera Di Implementasikan Sekolah

Munculnya laporan satu anak di SMP Bengkulu yang menyanyat tangan, menyebabkan sekolah antisipatif melakukan razia tangan anak, yang akhirnya ditemukan 52 anak menyayat tangannya dalam satu sekolah tersebut. Ini menjadi alarm besar bagi dunia pendidikan kita dan lembaga serupa pendidikan dimanapun berada, untuk melakukan hal yang sama. Ini baru satu sekolah yang mengecek langsung, kita berharap lebih banyak lagi sekolah melakukan hal yang sama.

Jasra Putra Komisioner KPAI menyampaikan dari pengalaman mendampingi korban, sebenarnya anak anak yang mengalami gangguan kejiwaan, tidak hanya menyayat tangan sendiri, tetapi juga ditandai dengan para anak korban mengalihkan kesakitannya kejiwaannya dengan memukul kepala sendiri, menjambak rambut, memukul atau menonjok dinding, menendang dinding, mimisan, melukai hidung dan potong rambut. Menyanyat tangan ini juga bisa di dorong dari teman imajinatif yang diciptakan korban, dengan menirunya dari media sosial. Sehingga penting orang tua, guru, lingkungan mendeteksinya lebih dini. Karena jika tidak anak anak akan mengalami situasi kejiwaan yang lebih buruk.

Antisipasi yang bisa segera dilakukan adalah membangun rekayasa antara orang tua, sekolah dan sekitar untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dalam memberi akses konseling, ruang aman konseling, ruang privacy, menjaga kerahasiaan anak, jaminan keamanan dan petugas yang mumpuni. Tentu sementara tenaga BK sekolah dapat di perbantukan oleh tenaga konseling dari UPTD PPA, P2TP2A, konselor Unit PPA Kepolisian, psikososial dari Kementerian Sosial RI dan Konselor dari relawan SAPA 129 KPPPA.

Selama ini kita bicara sekolah ramah anak, bicara bagaimana menghadapi kekerasan di sekolah. Tetapi ternyata ada yang lupa tersampaikan, yaitu persoalan kejiwaan anak anak kita. Bagaimana anak anak mengenal kecenderungan kejiwaan mereka. Ini yang masih sangat tertinggal di tangani. Karena soal gangguan jiwa sangat jauh dari urusan bisnis sekolah. Sehingga butuh intervensi negara. Tentu dengan baru di syahkan nya Undang Undang Pendidikan dan Layanan Psikologi, kita berharap setiap anak mendapatkan layanan psikologi yang layak dari tenaga professional. Baik dari SDM yang dimiliki sekolah, dari guru yang berlatar belakang psikolog maupun dari mandat UU tersebut untuk penyediaan tenaga SDM layana psikologi.

Dari pengalaman KPAI melihat korban anak yang mengalami gangguan jiwa, menjadi urusan paling terbelakang, karena sekolah dan orang tua sudah disibukkan hal lain, karena situasinya sangat membutuhkan perhatian khusus dan lingkungan yang akses, akomodasi layak, keberpihakan yang intens untuk korban anak yang mengalami gangguan kejiwaan.

Dari laporan yang masuk ke KPAI, soal anak menyanyat tangan dan perilaku hambatan kejiwaan lainnya tidak bisa diselesaikan sederhana, butuh proses panjang, karena berbagai sebab penyerta, yang dianggap anak tidak bisa menjawab kebutuhan gizi jiwanya. Sehingga karena factor kesendirian dan lingkungan yang tidak peduli, anak anak mencari cara mengatasi kebutuhan gizi jiwanya dengan menyanyat tangan.

Para korban bahkan ada yang membahasakannya menyanyat tangan lebih asik, karena kalau darahnya keluar akan memberi kesenangan, akibat tidak bisa menahan diri dalam menyalurkan emosi dan ketidak tahuan menyalurkan emosi yang baik untuk kebutuhan gizi jiwa mereka. Mulai karena merasa bersalah, beban masa lalu yang tersimpan dengan tidak terselesaikan, menghukum diri sendiri, tidak bisa menghukum orang lain atas perlakuan kepada dirinya. Bahkan dampak panjangnya tidak bisa merasakan emosi diri sendiri, tidak mengenali emosi. Sehingga agar melupakan itu atau mengurangi rasa emosi yang menyakitkan itu dengan memilih melukai atau menyiksa tubuh, agar di ringankan dari gangguan jiwa yang dialami. Ini adalah cara lain melampiaskan emosi.

Dampak dari anak anak mengalihkan persoalan kejiwaan dengan menyanyat tangan berdampak pada luka membekas yang lama dan butuh waktu menghilangkannya, bekasnya ini bisa bertahun tahun tidak hilang, menghindari memakai baju lengan pendek, menutup diri dari semua pihak, memakai gelang agar menyamarkan, bahkan beresiko lebih buruk, ketika terkena nadi, selalu sensitive untuk menyalahkan diri sendiri atas situasi apapun, karena beresiko sampai kematian, ketika tidak bisa mengendalikan ketika melakukan hal tersebut. Jadi tergantung pemicu saat mengalihkan perasaan sakit kepada perilaku tersebut.

Beberapa anak yang ditanya soal ini, menjawab dengan kesedihan mendalam, ada juga yang menyesal melakukan itu, tapi ada juga yang merasa akhirnya ada yang memperhatikan kondisi mereka. Namun yang harus diperhatikan, ketika sudah tertangani dokter, psikolog, psikiater, konselor, psikososial, peksos tetap bisa kembali melakukan karena situasi sekolah, rumah dan lingkungan yang tidak ramah pada korban korbannya, sehingga tidak mendukung pemulihan.

Seperti disekolah korban merasakan banyak tugas, padahal ia sedang menghadapi masalah yang sebenarnya tidak berhubungan dengan pelajaran, bukan anak tidak mau sekolah atau belajar, tetapi mereka ingin gurunya memahami situasi. Namun ini tidak mudah, karena dari pengalaman korban, ada 2 respon yang terjadi, pertama guru justru bertanya kenapa kamu melakukan itu, kenapa menuruti bisikan jelek itu, sehingga korban kondisinya lebih tidak aman. Kedua jika di laporkan ke orang tua, kemudian korban justru di marahi, bahkan ada ortu menyampaikan kenapa tidak mati saja. Yang akhirnya semakin menyudutkan dan mempermasalahkan korban. Padahal disaat yang sama anak sebenarnya sedang meminta waktu lebih banyak diperhatikan orang tua mereka. Anak ingin dimampukan untuk mendapatkan ruang konsultasi seperti ke sikolog dan psikiater, agar anak anak mengerti, mendapatkan pengetahuan, apa yang harus mereka lakukan.

Dalam pengalaman penanganan, ada anak setelah di tangani ahli, justru mereka tidak mengikutinya, malah semakin dalam dan buruk, karena lingkungan di sekolah, dirumah dan pertemanan tidak berubah. Ini yang sering dikeluhkan para dokter, sehingga anak akhirnya menutup diri untuk bercerita lebih lanjut pada ahli. Karena anak yang mengalami ini, memang harus memaksa diri dari dalam dirinya untuk mau bercerita, ahli (psikolog, psikiater) harus lebih sabar, para korban harus di ajak mensugesti dirinya untuk tidak mungkin seperti ini terus, karena para korban sebenarnya merasa nyaman dengan rasa sakitnya, rasa stressnya, mereka menyukai. Sehingga menjadi candu, untuk itu penting korban diajak memaksa diri dari dirinya sendiri, disugesti menyadari kondisi panjangnya. Artinya dokter, psikolog, psikiater dan profesi serupa menyadari korban butuh proses panjang dalma bercerita, mengurai kondisinya, sehingga penting menghindari mengundang emosi negative korban, karena setelah lepas penanganan, ia akan kembali.

Para guru penting memahami situasi anak, bukan karena mereka tidak mau belajar, atau tidak mau menyelesaikan tugas tugas sekolah. Karena depresi sedikit saja dengan gangguan kejiwaan yang berat itu, menyebabkan anak mudha patah, buat anak down, sehingga penting memilih pembicaraan. Lebih baik beri kata yang menenangkan anak. Bahwa pemulihan anak menjadi bagian tugas dari sekolah juga, dalam sekolah mendukung anak berada dalam situasi yang lebih baik, sehingga anak tidak khawatir anak nilai mereka, tanggung jawab mereka kepada orang tua akan nilainya dan tidak menjadi stigma lingkungan.

Ada juga situasi ketika korban curhat ke temannya, justru bertemu teman yang kondisinya lebih buruk, akhirnya situasi itu membenarkan, dan membawa korban lebih berbahaya lagi pada sikap melampiaskan kondisinya. Justru anak anak yang mengalami ini, diajak jadi penyintas, memberi saran, menyadarkan bahwa situasi itu akan jadi lebih menyakitkan lagi, ketika terus dituruti.

Teman teman sebaya lainnya dapat duduk disamping korban, bertanya pelan pelan, kamu kenapa. Namun jika di kepala anak tidak tahu apa yang harus di sampaikan kepada korban, maka lebih baik mengatakan “jangan takut disini ada aku”, aku bantu jangan khawatir, semua sayang kamu, aku bantu bangkit yuk, memeluk korbannya.

Anak anak yang mengalami ini, di mana ia berada, merasakan ketidaknyamanan, insecure dan membenci dirinya sendiri, kenapa itu terjadi? Karena korban merasa tidak bisa bicara dengan temannya, jangan sampai teman yang bicara adalah teman yang selama ini buat kecewa korban, akibat bullying yang tidak bisa di tolak korban dari teman temannya. Korban tidak punya daya untuk menolak bullying. Sehingga sejak awal penting anak anak di ajarkan kapasitas menyampaikan pendapat, saran, cara menyampaikan kritik, diberi sikap berani menolak.

Orang tua, sekolah, lingkungan sangat penting mengenal emosi anak anak di sekitarnya, ketika emosinya lebih disalurkan dengan ekspresi ketakutan, kepanikan, menyasar obyek yang tidak beralasan, maka berarti penting segera anak mendapatkan perhatian yang lebih intens dalam edukasi pada penyaluran dan pengendalian emosi yang lebih baik. Karena jika dibiarkan akan terbenam, bertumpuk tumpuk di alam bawah sadar mereka, yang ke depan tinggal menunggu pemicunya, yang akan meledak menjadi peristiwa diluar nalar kita semua.

Anak anak bisa mengalami disosiatif, artinya tidak sambung dengna kondisi badan, emosinya sendiri, tidak menyadari perbuatannya, tidak bisa membedakan ini dia atau bukan, karena trauma masa lalu, yang berkepanjangan, anak tidak menemukan jalan keluar, sehinga ketika berada dirumah beban, di sekolah beban, dan di lingkungan beban.

Pada anak anak yang mengalami ini, sebenarnya banyak yang berusaha pulih, namun sangat bergantung pada mereka sendiri. Diantaranya dengan rutin minum obat untuk mengurangi gejalanya, rutin berkegiatan seperti olahraga dan seni, ketika ingin menyanyat langsung dapat dicegah karena ada tempat konseling yang dekat, tidak membiarkan diri tidak tidur di malam hari, menghindari berbagai pemikiran negatif yang sewaktu waktu berkembang dengan sendirinya. Namun ada yang berakhir dengan ketergantungan dengan obat untuk mencegahnya. Mereka juga diajarkan menghindari makan minum yang mengandung manis berlebihan, karena ketika emosi akan berdampak pada agresifitas yang tinggi.

Ada juga istilah pertemanan yang toxic. Dimana anak anak mengalami pertemanan yang merugikan tumbuh kembang, mulai dari bullying dalam pergaulan sehari hari, berlanjut di sekolah, berlanjut di sosial media. Hal ini disertai karena persaingan status, problematika eksistensi, saling bersaing dengan apa yang disenangi, berbagai prasangka di media sosial dengan status menyindir. Untuk itu penting pertemanan toxic dihindari anak anak. Sehingga anak anak penting di kapasitasi untuk bijak bermedia sosial dan selalu didekatkan dengan dunia literasi.

Peran sekolah menjadi sangat penting, dalam menyediakan guru guru yang menjadi tempat nyaman anak anak bercerita. Hanya yang menjadi catatan anak, mereka ingin BK amanah, karena beberapa peristiwa BK lupa, kemudian menceritakan kepada orang lain, menceritakan ke teman teman yang bermasalah dengannya sehingga mudah diidentifikasi untuk bullying baru dari teman temannya, guru BK tidak sengaja bercerita didepan kelas. Sehingga mereka ingin sekolah menjaga privasi, kemudian tidak menceritakan kondisi korban, atau mengkode ditengah teman temannya, dengan menunjukkan ia sedang mengalami itu.

Mereka juga menyampaikan HP dan media sosial menjadi pemandu mereka mengatasi kebutuhan gizi jiwa. Karena tidak nyaman merasa tidak berguna, dan tidak memiliki teman akibat kondisi tersebut, akhirnya kebutuhan pertemanan ini, dicari di media sosial hp mereka. Dan ditawarkan berbagai metode cara menghadirkan teman imajinasi, diantaranya mereka menemukan di youtube yaitu Jessicamethod, yang berhasil mengatasi kesendirian mereka. Sehingga merasa memiliki teman curhat dalam bayangan mereka. Korban juga mengetahui cara menghadirkan teman imajinasi melalui Tiktok.

Namun memang resikonya anak anak dalam perilaku yang tidak aman. Karena bisikan tersebut menyebabkan mereka melawan, hanya karena kondisi jiwa, mereka tidak mudah mengendalikan. Kecenderungan teman imajinasi ini sangat berbahaya. Sehingga anak anak yang menyanyat tangannya yang sudah memiliki teman imajinasi, selalu mencoba memutus pertemanan imajinasinya. Karena sebenarnya mereka ingin kembali memiliki teman teman yang benar benar nyata, hanya terus tidak terjadi karena gangguan yang sewaktu waktu datang, tetapi teman teman sekitarnya tidak memahami, untuk mendukung pemulihan.

Mereka yang berhasil memutus teman imajinasi, menyampaikan dengan berpisah baik baik dengan teman imajinasinya, berterima kasih dengan teman imajinasinya, dan meninggalkannya, kemudian memperbanyak kegiatan, beberapa orang dewasa menciptakan situasi dan lingkungan intens untuk mengobrol dengan di fasilitasi secara terus menerus.

 

Beberapa peristiwa pindah sekolah atau putus sekolah terjadi karena semasa sekolah anak mengalami kehamilan, karena terjadi kekerasan, karena kepindahan orang tua, karena anak sama sekali sudah tidak mau sekolah, anak terlepas keluarga dan sekolah, dan anak diserahkan lembaga. Namun sebenarnya yang tidak terungkap dibalik itu, ada persoalan gangguan jiwa juga yang menyertai. Sehingga penting kalau ingin mengurangi anak anak yang mengalami gangguan jiwa, pemerintah kembali menyisir bersama orang tua dan sekolah, agar tidak ada yang tertinggal penanganannya.

Untuk itu terkait SMP Bengkulu penting sekolah menghindari dampak berkepanjangan dengan anak putus sekolah, dengan anak di istirahatka sementara dengan menggantikan aktifitas seperti kebutuhan wajib therapy, menggantikan cara penilaian sekolah dengan pemulihan yang bertujuan pada perubahan karakter, penyediaan dukungan, ketersediaan akses pemeriksaan ke ahli, menghindari sementara dari yang dianggap anak menjadi beban dari orang tua, sekolah dan lingkungan.

Kemudian sekolah mengatasi ketertinggalan belajarnya, dengan mengganti tugas tugas belajar mereka, dengan tugas pemulihan. Karena pemulihan ini bisa menjadi bagian penilaian untuk korban, karena sistem pendidikan kita dalasm UU SISDIKNAS bertujuan pada pembangunan sikap positif dan terbangunnya nilai nilai karakter. Ada perubahan sikap, ada kemandirian, sehingga pemulihan menjadi bagian mendukung kembali ke dunia pembelajaran. Ada juga kebutuhan di sekolah, untuk memperbanyak guru dengan latar belakang pendidikan kejiwaan.

Untuk itu kita berharap Undang Undang Pendidikan dan Layanan Psikologi bisa benar benar efektif di sediakan dan terselenggara secara baik di sekolah. Agar semua anak sejak dini mendapatkan layanan psikologi yang layak dalam mengenal jiwanya sejak dini. Dan ini bukan pekerjaan yang bisa sambal ditinggal dengan pekerjaan lain, benar benar butuh konsentrasi dalam pemenuhan gizi jiwa anak sesuai usia dan tumbuh kembangnya sejak dini, tutupnya.

Check Also

Alat Kontrasepsi, Perdebatan dan Kekhawatiran Nakes

Dunia jagad pendidikan kita, baru saja diramaikan perdebatan alat kontrasepsi. Hal itu terjadi karena pencantuman …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *