Home / KBAI Reportase / Refleksi Anti Kekerasan: Mengingat Kembali Murid Bunuh Guru Di Madura
Produksi KBAI

Refleksi Anti Kekerasan: Mengingat Kembali Murid Bunuh Guru Di Madura

Merefleksikan Arti Kekerasan Harus Bersama-sama

Ingat dengan kisah di Madura tentang MURID yang memBUNUH GURUnya

Siapakah di dunia ini yang tidak pernah mendapatkan perlakuan kekerasan? Tentu ada. Namun seiring kita bertumbuh ia mulai muncul menjadi trauma perjalanan kehidupan. Ada yang melakukan secara fisik, psikologis/psikis atau kasat mata tapi berdampak langsung kepada anda, baik prosesnya langsung maupun berangsur angsur. Begitupun ketika kita merespon sebuah berita kekerasan. Kalau responnya yang muncul menyalahkan sesuatu. Maka sebenarnya kita telah melahirkan kekerasan baru. Begitulah terus mata rantai kekerasan terjadi. Selalu menghantui dan menjadi alasan kita bersikap, baik spontan, keras atau diam penuh emosi. Sikap itu tanpa kita sadari telah menghadirkan kekerasan baru. Baik yang dirasakan kita ataupun berdampak kepada sekitar kita, ketika mengeluarkan rasa keras itu.

Suasana menerima kekerasan yang terus menerus, pada akhirnya membuat alam bawah sadar kita bekerja. Dan itu disebut trauma. Penanaman ketakutan dibawah ketidakberdayaan kita atas memahami sesuatu, secara terus menerus menyebabkan respon jiwa yang akut. Utamanya menyalahkan diri sendiri, atau bereaksi keluar melakukan kekerasan dengan yang lain, bila tidak bisa melawan mengambil proses bunuh diri.

Ingat dengan kisah di Madura tentang murid yang membunuh gurunya. Apa respon kita setelah membacanya? Apalagi mendengar kisahnya lebih detil, tentu respon kita bisa lebih dalam lagi. Ada rasa yang muncul dan sangat beralasan untuk kita keluarkan. Seperti rasa tidak rela, marah dan ingin melampiaskan kekerasan. Apalagi jika kita seorang guru. Tentu tiba tiba akan teringat kisah kita selama menjadi guru. Melihat murid yang susah dibilangin, melawan atau sok pintar. Tiba tiba emosi itu keluar, ukurannya tergantung dengan kisah trauma yang pernah kita alami.

Masih segar dalam ingatan, ketika di sekolah kita tidak bisa suatu pelajaran. Seketika dianggap bodoh, idiot atau lebih kasar dari itu. Dan ujungnya sikap ketidak berdayaan atau ketidak mampuan ini, dikultuskan dengan raport. Dan kemudian orang sekitar kita membenarkan dengan kondisi raport itu. Iya kamu memang pantas, tidak mau mendengar, tidak mau belajar. Jarang sekali ada yang bertanya ‘apakah kamu pantas mendapatkan nilai itu’ ‘kamulah yang dapat mengukurnya’ ‘ke depan apa langkah yang bisa kami bantu untuk mengatasi kesulitan kamu’. Mungkin kalau ini yang terjadi, kita akan belajar untuk menghindari kekerasan, dan mengajak setiap orang tidak instan menyelesaikan masalahnya, ada proses dan kesabaran. Karena setiap orang unik dan berproses memahami sesuatu. Sayangnya setiap orang belum tentu mengalami ini, harus berproses panjang sehingga mengetahui bahwa itu KEKERASAN.

Kita sering dihadapkan dengan relasi kuasa, ada yang lebih kuat disekitar kita. Ketika waktu kecil misalnya, -bisa itu berwujud kakak anda, orang tua anda, adik anda atau teman anda. Ketika remaja atau dewasa, bisa pelakunya keluarga anda, guru anda atau teman. Ketika anda berkeluarga, kekerasan juga bisa hadir dari isteri anda, suami anda, anak anda atau bos anda dalam pekerjaan.

Situs Online Kemendibud merilis bersama KPAI jumlah kekerasan sekolah dari 2011 – 2017 mencapai 8148 kasus (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/kemendikbud-tekankan-pentingnya-tiga-lini-pendidikan-untuk-cegah-kekerasan). Disini saya tidak akan memperjelas siapa yang paling banyak melakukan kekerasan, guru atau siswa. Karena ketika saya mengungkapkan itu, maka dipastikan akan lahir respon kekerasan baru.

Begitu juga fenomena kekerasan di sekitar keluarga. Sejak kecil kita dilarang berkata keras, memukul teman, menghina teman. Namun setiap hari kita dipertontonkan orang tua kita yang saling menghardik, menghina bahkan sampai memukul. Data Pengadilan Agama menyampaikan kasus perceraian 2016 mencapai 245.548 kasus dan berakhir perceraian (http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39180341).

Bicara akar kekerasan, kedua data tersebut menggambarkan jumlah kekerasan antara keluarga dan sekolah. Begitu melambungnya angka kekerasan di keluarga dan jauhnya perbandingan angka kekerasan di sekolah. Artinya ketika gagal di keluarga maka kekerasan itu akan keluar dari rumah dan bisa terjadi dimana saja, salah satunya sekolah. Kita sering mendengar istilah lembaga pendidikan adalah rumah kedua anak.

Maklum, mungkin tidak banyak dari kita mempelajari psikologi perkembangan manusia. Bagaimana kebutuhan manusia itu berkembang sesuai dengan perkembangan fisik dan jiwanya. Sehingga sering salah menyikapi dan berakhir penyelesaiannya dengan kekerasan.

Seiring manusia bertumbuh, yang dominan berkembang adalah gizi fisiknya dibanding gizi jiwanya, Iya apa iya. Terbayang kan…, usia anak balita yang masih membutuhkan sosialisasi dan pengenalan disekitarnya. Tiba tiba harus ditekan dan stress diminta gurunya bisa membaca, menulis dan menghitung. Beberapa kasus gangguan jiwa sudah terjadi loh pada umur anak anak ini. Kemudian berlanjut di SD. Belakangan orang tuanya ikut gila dengan nilai nilai di raport. Serta guru, pemerintah mengukurnya dan tanpa sadar menjadi kekerasan structural. 

Akhirnya bermunculan lah  sekolah sekolah dengan berbiaya di luar rasio dalam mengejar pendidikan yang sadar dan memanusiakan. Tetapi itu kenyataan.

Makanya penting setiap kita merefleksikan kekerasan, bisa di keluarga, lingkungan, antara pimpinan dan bawahan, antar komunitas, lembaga. Karena dalam dunia kekerasan disarankan lebih baik merefleksikan bersama-sama. Karena belum tentu yang kita ‘anggap kekerasan’, orang lain mengatakan ‘itu kekerasan’. Tentu tidak hanya sekali melaksanakannya, butuh berkala bahkan sering kalau memang selalu terjadi.

Kekerasan hanya bisa diselesaikan ketika kita merefleksikan bersama. Mencoba menyelami darimana awal kekerasan menghampiri kita. Kalau sudah ditemukan mari kita membaca kekerasan atas orang lain (so pasti kita akan menemukan pola kekerasan yang sama, bukan). Hal ini diungkap dalam ilmu parenting skill. Bahwa kekerasan yang dilahirkan anak mereka yang telah menikah adalah akibat pola pengasuhan di masa lalu dan terus meregenerasi. (tanpa harus kita sebut siapa yang paling salah, namun dalam menghentikan kekerasan berlaku melihat diri sendiri, merefleksi bersama dan coba memaafkan diri sendiri dan sekitarnya. Itulah yang utama sebenarnya dalam menyelesaikan akar kekerasan.

Lihatlah diri kita sekarang, apakah kita seorang Presiden, Bos Besar, Pimpinan, Orang tua, Anak, Kakak atau Adik, kitalah yang bisa menyembuhkan akar kekerasan itu. Dan ada baiknya ketika mulai menyelesaikan kekerasan jangan menunjuk siapapun, mulailah dengan bersama sama merefleksikannya tanpa menyalahkan atau menunjuk hidung siapapun. Karena itulah yang bisa saling menyembuhkan, memulihkan dan melegakan.

Tulisan inipun saya buat, menunggu redam kekesalan yang beredar di social media. Karena suasana keras tidak akan berdampak ketika kita berusaha menulis menggambarkan kekerasan itu. Yang pada akhirnya juga akan mendapat respon yang keras, seperti kita yang ‘paling benar saja’. Artinya tulisan inipun harus menunggu suasana reda. Karena tulisan ini tidak akan berarti apa apa, kalau diterima dalam suasana hati dan batin yang sangat keras. Betapa sangat halus dan lembut perasaaan kekerasan itu, gampang terpercik dan tersulut. Dan disarankan untuk tidak begitu saja langsung merespon. Karena ia seperti ‘sampah’ yang dilemparkan, dan ketika kita meresponnya dengan keras ‘seperti memakan sampah yang dilemparkan itu’.

Mungkin inilah cara efektif menghentikan kekerasan supaya tidak meregenerasi kepada anak anak kita, yang kedepannya mereka akan tumbuh dan dewasa. Dan bisa menjadi apa saja. Bisa menjadi guru, orang tua, atau anda sekarang dalam memahami penderitaan, kekerasan dan kecewaan. Wallahu’alam Bishshawab.

 

Tips Merefleksikan Kekerasan Bersama

Pendidikan Reflektif tentang Kekerasan di sekitar kita.

Ajak semua unsur yang anda anggap adalah bagian terdekat, contoh lingkungan sekolah. Tahapannya sebagai berikut:

  1. Apa yang anak rasakan ketika mendapat kekerasan (menurut pandangan mereka, kita ajak reflektif dengan fikiran mereka, apa yang kalian sebut marah, benci, sedih, dll)
  2. Mari kita rasakan bersama. (Apa yang kamu rasa ketika mendapat pukulan, cubitan, tendangan, suara keras)
  3. Apa yang kamu suka. Kemudian tanya apa yang kamu tidak suka.
  4. Kemudian tontokan beberapa ‘film kekerasan’. Utamakan yang sudah disensor wajah, baik korban atau pelaku. Atau dengan menampilkan gambar yang telah disensor wajah korban dan pelaku.
  5. Silahkan ajak reflektif situasi tersebut
  6. Setelah semua merasakan kekerasan di sekitar mereka. Baru kita masuk pada teori apa itu kekerasan, jenis kekerasan. Sambil menyambungkannya dalam penyampaian dari hasil reflektif kekerasan yang telah mereka tulis.
  7. Setelah selesai hasilnya di tukar dan dimintai pendapat masing masing kelompok
  8. Setelah itu berkumpul dan dipresentasikan bersama.
  9. Biarlah hasilnya jadi milik mereka.
  10. Bila anda adalah guru, pengasuh, educator, fasilitator yang melaksanakan ini, cobalah mengarahkan pelatihan ini seefektif mungkin. Dengan menyediakan media atau alat pelatihan sejak awal.
  11. Usahakan bisa membuat rekomendasi bersama agar Kekerasan dapat dicegah di lingkungan pendidikan.
  12. Setelah itu sessi ditutup dengan menanyakan kembali arti kekerasan. Lepas saja mereka dalam berpendapat dan tidak perlu disimpulkan.
  13. Katakan di sessi penutup. Karena kekerasan kita yang memulai dan harus sama sama kita reflektifkan dan pulihkan. Kita tidak bisa menghindari kekerasan hanya bisa mengurangi. Tapi dengan reflektif bersama mungkin bisa dihilangkan.

 

Tips yang harus di ingat dalam melaksanakan Pendidikan Reflektif Anti Kekerasan ini adalah;

  1. Korban sering tidak mau mengungkap, wakili dengan Gambar gambar yang menunjukkan gambar tamparan, gambar tendangan, dan lain lain yang bisa melambangkan kekerasan. Ajak mereka bisa memilih.
  2. Gambar garis pinggir tubuh, tidak lengkap. Dan mereka bisa menunjuk dimana pernah mendapat kekerasan.
  3. Kelas dilakukan terpisah (Kelas ortu, Kelas guru, Kelas anak)
  4. Setelah selesai hasilnya ditukar dan dinyatakan pendapat masing masing kelas. Tanyakan setiap kelas apa rekomendasinya.
  5. Setelah semua selesai, semua kelas dikumpulkan dan dipresentasikan masing masing kelas.
  6. Setelah itu semua hasil di tempel di lokasi yang bisa di baca bersama setiap saat.

By: Redaktur KBAI

Check Also

Caper Lo: Hilangnya Apresiasi Di Masa Remaja

Seringkali kita mendengar remaja kita, membully secara psikologis dengan sebaya, dengan kata Caper Lo!!!. Padahal …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *