Pernah mengalami antrian panjang di puskesmas atau rumah sakit. Kebayang para Ibu yang mengantarkan bayi atau anak anaknya berobat.
Suasana menangis, lama antri, rintihan sakit dari anak anak, yang tidak mampu kita dengar di lorong lorong rumah sakit.
Apalagi kalau itu anak kita, kalau boleh ‘sakit itu pindah ke orang tuanya’. Agar mampu ‘lebih kuat’ menahan sakitnya. Tapi itu takkan pernah terjadi. Itulah kenyataannya.
Anak anak kita tetap diperlakukan sama. Meski ia tidak sekuat kita dalam menahan sakit. Apalagi kalau nampak berat yang dialaminya. Hal tersebut menjadi trauma para orang tua dan anak mereka yang sakit.
Belum lagi anak anak korban kekerasan yang membutuhkan pemulihan panjang. Kebutuhan segera dibuktikan, mengungkap kembali trauma, sangat berhubungan dengan ketepatan layanan kesehatan. Apakah sudah berpihak untuk korban?
Pengamat jaminan layanan kesehatan German Anggent menyampaikan data Kementerian Kesehatan memperlihatkan dari sekitar 178 juta pengguna BPJS kesehatan, utilisasinya atau pemanfaatannya baru 20 sampai 22 persen. Artinya jika disuatu daerah berpenduduk 1 juta maka rata rata yang menggunakan manfaat layanan kesehatan baru 200 ribu orang.
Tingginya kepesertaan layanan BPJS kesehatan berbanding terbalik dengan ketidak siapan sarana dan prasarana layanan kesehatan.
Disisi lain gap ini belum ketemu jalan keluarnya. Sehingga masih dijumpai kasus penyakit berat dan darurat penanganan yang terhambat dalam pelayanan. Karena defisit BPJS kesehatan untuk menbiayainya dan sarana praaarana yang belum memadai.
Dalam regulasinya diatur mandat dan peran, BPJS bertugas mencollect iuran BPJS kesehatan sedangkan Kemenkes bertugas menyiapkan sarana dan prasarananya.
Pada prakteknya, kita masih menjumpai kisah anak anak berpenyakit berat seperti jantung mengalami antri operasi dari 6 bulan sampai 2 tahun. Baca juga: http://localhost/anak/penjual-nasi-uduk-mencari-jaminan-kesehatan/
Melihat kondisi ini tentu prihatin. Karena itu KPAI sebagai lembaga pengawas perlindungan anak, membentuk Pokja Revisi Perpres JKN.
Komisioner KPAI bidang kesehatan, Sitti Hikmawatty menyampaikan sudah 5 kali revisi Perpres JKN namun perhatian pada kebutuhan khusus dan layanan kesehatan yang ramah anak belum terperhatikan secara optimal.
KPAI saat ini telah intensif melakukan koordinasi dan sinergitas dengan banyak pihak, agar mendukung tentang perlunya memasukkan perspektif perlindungan anak dalam regulasi JKN ini.
Hikmah meyakini jika regulasi JKN ini optimal, dapat secara efektif mengurangi angka kesakitan (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) pada bayi dan anak.
Bagimanapun anak anak tidak sekuat orang dewasa dalam menahan sakit. Apalagi bila berada dalam kondisi darurat. Karenanya perlu ada regulasi khusus, bahwa anak anak tidak bisa disamakan dengan layanan umum biasa.
Seperti situasi anak anak butuh ruang Nicu Picu, situasi anak anak berkebutuhan khusus, situasi anak anak korban kekerasan seksual, situasi anak anak yang menjalani masa hukuman sangat butuh perhatian. Kondisinya dilapangan saat ini sangat mengkhawatirkan.
Yanto Mulya Pibiwanto Ketua Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah juga merasakan pentingnya revisi Perpres JKN dengan memperhatikan anak anak yang berada di panti asuhan.
Siapa yang bisa menjamin mereka? Anak anak yatim atau piatu, Anak anak berpenyakit berat yang ortunya telah pasrah, anak anak yang berhadapan dengan hukum, anak anak yang ditinggalkan di rumah sakit dan anak anak terlantar yang diberikan pemerintah ke panti. Mereka sering tidak ada yang menjamin karena ditinggalkan begitu saja.
Orangtua mereka siapa? Ya mereka yang rela dan ikhlas mau merawatnya, para pengasuh, orang orang yang terpanggil selama ini mendukung panti. Namun tidak bisa selamanya.
Dalam kasus seperti di atas, Negara harus hadir. Negara perlu menjamin prosesnya melalui Perpres tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Kami mengetuk hati para pemimpin negeri untuk tahu kondisi kami di Panti, jelas Yanto, yang juga Ketua Umum Forum Nasional Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dan Panti Sosial Asuhan Anak Indonesia.
