Peristiwa kekerasan di lembaga pendidikan, seperti menjadi fenomena fatality reaksi kejiwaan manusia pasca pandemi, yang seperti sedang tidak baik baik saja. Seperti butuh pemulihan dan reflektif, agar rasa yang tertahan dan tidak ter ekspresikan 2,5 tahun akibat bermasker, bisa menormalkan kembali.
Menyaksikan simbol simbol kebaikan, seperti guru agama, kyai, habib, romo, pendeta, orang tua, orang yang sangat di percaya seperti kakak atau senior, dengan kemampuannya memberi penilaian pada kebaikan, tetapi digunakan untuk kekerasan, mengubah imajinasi dan merusak, dalam memandang sesuatu, yang seharusnya berlaku tidak seperti itu dalam keseharian.
Apalagi kalau kekerasan itu, hingga berakibat fatal, seperti perkosaan dan pembunuhan, tentu saja berakibat menjadi gangguan perilaku, yang bila tidak diatasi, akan menjadi warisan, yang bisa melahirkan kekerasan dan pelaku terus menerus.
Kita jadi ingat karet, ya karet yang memiliki daya lentur tinggi, bahkan ketika ditumpuk tumpuk, karet tidak menjadi tumpukan masalah, justru karet akan semakin tebal dan kuat.
Manusia pada dasarnya mahluk yang sangat lentur seperti karet, ketika ditumpuk, ia saling mengisi, saling menutup. Dan ketika banyak, bisa tampil menjadi sangat menakutkan untuk yang lain.
Begitupun seharusnya manusia, semakin ditumpuk, menjadi kekuatan kebersamaan, bukan menjadi polarisasi, semakin terkotak kotak, dan menjadi senior dan junior.
Pendidikan kita ditantang untuk kembali menjadi manusia, bukan formal dengan bentuk kaku , yang harus lurus, tegak. Bila bengkok sedikit saja, maka akan diluruskan dengan pentungan.
Ketika manusia sudah menjadi pentungan, seperti kehilangan rasa manusianya sendiri
Daya lentur manusia, sudah hadir, sejak di lahirkan, dimana perut seorang perempuan mengeluarkan bayi. Dari ruang rahim yang sangat sempit, keluar tubuh bayi yang sangat besar. Padahal dalam proses mengeluarkan bayi, ibu kita bertaruh nyawa.
Namun itu semua bisa selamat, berkat Tuhan menciptakan daya lentur yang luar biasa pada manusia, sehingga kita keluar dari perut bisa selamat.
Mari kembalikan lembaga pendidikan yang mendidik manusia lentur, bukan manusia berbentuk pentungan, yang kaku dan bila bengkok harus di pentung berkali kali, agar lurus kembali
Pendidikan kita, bukan pendidikan pentungan seperti yang terjadi di salah satu pondok pesantren, yang menyebabkan Albar Mahdi kehilangan nyawa.
Hai pendidikan kembalilah melentur, sebagaimana manusia seutuhnya, yang punya berbagai cara, rahasia dan maksud penciptaan dari Tuhan, dengan sejak kecil dibekali daya lentur yang luar biasa laksana karet.