Negara Didorong Wajibkan Kebijakan Perlindungan Anak Di Lembaga Layanan

Peserta Program Practice Exchange on Child Sexual Abuse di Philipina

Masih segar dalam ingatan kita kasus kekerasan seksual di sekolah JIS, beberapa guru di pengadilan terbukti sebagai pelaku.

Berbarengan dengan Kasus JIS,  kita dikagetkan oleh kasus Panti Asuhan Samuel,  Kepala Panti diproses hukum karena diduga pelaku kekerasan pada anak,  baru-baru ini juga Kepala Panti Asuhan di Batam dihukum 5 tahun Penjara di PN dan di Pengadilan Tinggi dikurangi hukumannya. 

Kisah ini berlanjut dengan besarnya ekspos media terhadap kondisi Panti Tunas Bangsa Riau. Bahkan belum selesai di Riau sudah datang kembali kasus gizi buruk di Panti daerah Demak Jawa Tengah. Sebenarnya banyak lagi kasus kekerasan pada anak oleh pendamping yang di proses hukum atau tidak masuk proses hukum.

Bahwa muncul pertanyaan dalam benak kita semua, apakah Negara kita mempunyai aturan, yang dapat memastikan setiap petugas atau pendamping yang bekerja dengan anak memiliki kapasitas yang jelas atau tidak memiliki pengalaman seperti pelaku kekerasan pada anak atau juga perilaku berbahaya pada anak.

Hal inilah yang diungkap Muhammad Ihsan Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak  yang juga Ketua Bidang Majelis Pelayanan Sosial Muhammadiyah dalam pertemuan Program Practice Exchange on Child Sexual Abuse yang dihadiri 10 negara di Quezon city,  10/2/17, 00.31 Philippina.

Muhammadiyah sebagai anggota penuh dan pendiri Family For Every Child (FFEC) yang berkantor di Inggris, -yang merupakan aliansi Internasional bidang pengasuhan, diwajibkan oleh FFEC memiliki Kebijakan Perlindungan Anak baik dilembaga layanan anak maupun panti asuhan.
Kebijakan ini berisi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pembimbing anak, calon pendamping anak, track record mereka, tes psikologi dan cek administrasi.  Memang tidak mudah menerapkan kebijakan perlindungan anak dalam organisasi masyarakat jika pemerintah tidak mewajibkan.

Beberapa negara anggota FFEC yang telah kita kunjungi seperti Turki,  Jordania, Rwanda,  Meksiko,  Philippina dan negara lainnya dalam Practice Exchange Forum menjelaskan bahwa Kebijakan Perlindungan Anak untuk petugas merupakan protokol Internasional yang wajib dipatuhi oleh setiap negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, sehingga pemerintah menyediakan peraturan, pedoman dan formulir untuk melakukan check and recheck bagi petugas yang bekerja dengan anak, sehingga bisa mencegah kasus kekerasan pada anak atau mempersempit ruang gerak predator anak. 

Kita berharap Kementerian atau Lembaga Negara yang bertanggung jawab untuk perlindungan anak di Indonesia membuat peraturan tentang kebijakan perlindungan anak bagi petugas. 

Mencegah lebih aman dan menyelamatkan masa depan anak daripada menjadi “pemadam kebakaran” atau menunggu muncul kasus anak diliput media. Sehingga semua tokoh dan pejabat berbondong-bondong membawa Wartawan untuk datang ke lokasi kejadian, tapi setelah pemberitaan berhenti,  kita semua lupa dan hampir melupakan betapa pentingnya upaya pencegahan. Mari ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak, tutup Ihsan.

Check Also

Alat Kontrasepsi, Perdebatan dan Kekhawatiran Nakes

Dunia jagad pendidikan kita, baru saja diramaikan perdebatan alat kontrasepsi. Hal itu terjadi karena pencantuman …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *