Jumat sore menerima informasi dari teman media tentang meninggalnya anggota paskibraka Tangerang Selatan pada hari Kamis malam 1 Agustus 2019. Kami langsung bergerak menuju Cipondoh rumah duka untuk takziah.
Dalam perjalanan menuju rumah duka, dalam kondisi macet, kami merasakan gempa. Sempat mencari informasi kondisi bencana berasal dan menghubungi kerabat sahabat memastikan keselamatannya.
Tiba di rumah duka pk.19.30 dalam suasana pembacaan surat Yassin. Dan terlihat sejumlah awak media telah menunggu.
Usai pengajian terlihat serombongan datang dan langsung masuk kedalam rumah diterima orang tua alm. Rombongan itu adalah pelatih dan angkatan paskibraka. Selama 2 jam mereka berbincang di dalam, dan kami diminta menunggu, secara bergantian. Kami pun ditemani kakak tertua dari ibu alm, yang ternyata seorang lawyer di Jogja.
Usai bertemu rombongan tersebut, pk. 22.30 orang tua menghampiri kami (saya, Jasra Putra Komisioner KPAI, Farid Ari Fandi reporter KBAI, dan German dari BPJS Wacth) mendengarkan langsung dari bapak Faried dan Ibu Sri tentang alm dan aktivitasnya semasa hidup.
Setelah sekitar 1 jam, kami langsung konferensi pers bersama kedua orang tua didampingi paman alm.
Intinya, keluarga belum ada rencana menempuh jalur hukum dan juga masih dalam suasana duka. Walau sesungguhnya mereka merasa ada kejanggalan dan aktivitas berlebihan yang diterima oleh alm. Hal ini disampaikan alm kepada ibunya. Tangan, kaki lebam dan bekas cubitan yang membiru. Bahkan Ibunya menegaskan bahwa alm tidak berkulit putih.
Perlu diketahui bahwa keluarga alm (ayah, ibu, paman, sepupu) adalah purna paskibraka, jadi tahu persis pedoman dan sistem yang berlaku dan dijalankan selama latihan.
Di tengah padatnya latihan alm juga masih di tambah dengan aktivitas fisik yang tidak seharusnya dilakukan apalagi untuk seorang anak perempuan (push up tangan dikepal diatas aspal), dan kegiatan tambahan (menulis diary merah putih, makan jeruk dengan kulitnya) di luar pedoman yang berlaku.
Sehingga membuat ketegangan syaraf, stres dan ketakutan karena takut salah yang akan berujung dengan hukuman fisik dan kemarahan senior bila diungkapnya, juga kesalahan satu orang menyebabkan semua di hukum, dan alm tidak ingin terjadi, bahkan keinginan ibunya untuk menyampaikan ke pelatih dan senior tidak diijinkan alm.
Salah satunya penekanan psikologis berdampak berat saat tulisan diary selama 22 hari dirobek dan diminta ditulis ulang kembali. Satu sisi ada rasa tanggung jawab karena mempertahankan posisi sebagai pasukan inti, sisi lain rasa tersiksa karena ada ketidak mampuan untuk itu.
Rasa sedih dan kehilangan sangat terasa. Mendengar cerita ibunya, alm sangat cerdas, mandiri, ceria namun pergi karena mengalami kekerasan (alm tidak ada sakit sama sekali, dia meninggal pk. 04 dini hari dalam kondisi berdiri, dan jatuh badannya dengan bunyi berdebum keras sekali karena sudah tidak bernyawa lagi). Pengakuan ibundanya alm terjatuh dengan badan yang sudah berat dan mengeluarkan cairan terakhirnya.
Alm subuh itu bangun jam 4 pagi untuk membuat teh jelang persiapan latihan seperti biasanya selama 22 hari ini, namun subuh itu tak biasanya orang tua tidak terbangun untuk membuatkan teh untuk nya. Dihadapan anggota keluarga lainnya melihat alm terjatuh dan menyambut badannya.
Bersama orang tua langsung membawa ke RS terdekat. Selama perjalanan ibu alm telah berfirasat bahwa nyawa sudah tidak di badan melihat pupil mata, warna biru di bagian badan. Perjalanan ke RS juga diwarnai kejadian menabrak tiang listrik, Ibunya menyampaikan sudah 2 hari ini tidak bisa menerima, trauma berat bahkan sudah halunisasi yang membuat suaminya sangat khawatir. Namun naluri ibu tetap untuk memastikan dengan medis membawa alm menuju RS. Di RS status AOD (meninggal ketika datang).
Terakhir suaminya merasa khawatir sudah 2 hari istrinya mengalami halusinasi atas peristiwa ini. Wajar saja ketika memandikan jenazah Ibunya melihat 3 luka di tangan, kaki dan bekas cubitan. Ia menandaskan anaknya tidak putih, namun luka cubitan itu biru.
Ibunya menyampaikan hari ini adalah hari ke 3, hari terakhir pengajian. Justru inilah penderitaan sesungguhnya setelah rumah ini sepi, tidak ada perhatian, keluarga pulang, saudara pulang.
Saya berharap kementerian dimana tempat bapak ibu bekerja memberi perhatian lebih, meski telah mengirimkan bunga.
Begitu juga task force untuk pendampingan dan kekuatan psikologis dari lintas kementerian dan lembaga, seperti tempat Bapak Ibu korban bekerja di Kemendagri dan Kemendes PDT. Kemudian masa berat ini, adik dari korban juga butuh perhatian, ditengah keluarganya yang sedang berat ini.
Ibunya menyampaikan meski kami diajak ikhlas dan menerima, namun jazad itu membayangi saya, kejanggalan, luka luka, tekanan psikologis yang diluar kontek pelatihan paskibra. Tentu ini hari hari berat buat kami, katanya. Apalagi dua hari saya sudah berhalusinasi.
Saya berharap KPPPA sebagai koordinator harmonisasi regulasi dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak melakukan serangkaian peninjauan untuk memastikan panduan atau pedoman Paskibra memberikan ruang terpenuhinya hak anak dari segala sisi.
Kemensos ataupun Kemenkes memberi perhatian pendampingan kesehatan dan dampak psikologis atas kondisi berat ini. Sekian
****
Dari sisi Perlindungan Anak
Child safe guarding yang didalamnya terdapat kode etik berkegiatan dengan anak. Seperti tidak melakukan kekerasan fisik mau pun mental, tidak mempermalukan/memalukan anak, tidak sendirian dengan anak di lokasi sepi.
Perlakuan di luar pedoman Ini sangat layak di evaluasi karena alm adalah usia anak yang ada kode etik keterlibatan (melibatkan) anak dalam aktivitas. Pelanggaran terjadi ketika kondisi yg di maksud tidak di ukur dari batas kemampuan usia anak.
Prinsip bekerja (aktivitas) dengan anak
1. Non diskriminasi
2. Kepentingan terbaik bagi anak
3. Hak untuk hidup
4. Kelangsungan dan perkembangan serta penghargaan pendapat anak
4 pilar pelibatan anak
1. Anak diberi kapasitas
2. Anak mempraktekkan langsung di lapangan (riset, survei)
3. Anak diberi tempat untuk menyampaikan hasilnya
4. Feedback (evaluasi untuk melihat hasilnya)
Disamping itu didalam paskibra yang dialami alm terdapat kedisiplinan yang tinggi. Apakah disiplin relevan dengan kekerasan? Padahal itu proses belajar mengenal untuk anak.
Kedisiplinan positif di dalamnya ada ruang dialog, partisipasi anak, kesetaraan, melihat kesalahan sebagai proses pendidikan, membangun kesepakatan dengan anak.
(misal: ketika anak ingin menjadi pasukan inti paskibra, orang dewasa wajib memfasilitasi dengan menanyakan kembali pendapat dan penilaian anak tentang proses tersebut).
Apakah prinsip-prinsip ini sudah teradopsi dalam panduan dan pedoman pelatihan. Jika sudah ada berarti ada pelanggaran SOP.
*******
Ilma Sovri Yanti – Satgas Perlindungan Anak – 087838703730