Perjalanan para penjangkau keluarga korban Covid 19, seringkali terbawa larut kesedihan. Mereka mengibaratkannya dengan ‘pintu menangis’. Karena kisah yang diceritakan setiap keluarga sangat menguras air mata. Sehingga setiap membuka pintu, yang ada adalah air mata. Siapa yang rela kehilangan mendadak orang orang yang dicintainya?Rata rata mereka figur harapan dan sumber nafkah keluarga.
Situasi Juni Juli 2021 menjadi fenomena besarnya angka kematian Covid 19, yang menyebabkan keluarga tersebut menyaksikan orang yang disayanginya kesulitan mendapat akses layanan kesehatan, karena penuh. Dalam kondisi darurat, sulit mencari rumah sakit dan tanpa pertolongan, mereka menyaksikan orang yang disayanginya meninggal, tanpa mendapat pertolongan yang layak.
KBAI mewawancara koordinator nasional pendataan yatim piatu korban Covid 19 dari Majelis Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jasra Putra. Menurutnya, dari 1.329 data yang masuk, kami mulai menjangkau. Rata rata ada kebutuhan mendesak, yaitu perhatian khusus.
Bila tidak ada yang mendampingi mereka, maka ada situasi rentan yang sewaktu waktu dapat berakibat sangat buruk. Pentingnya kekhawatiran mereka segera mendapat solusi sementara.
Selain kehilangan orang yang paling disayangi, mereka yang meninggal juga tumpuan hidup keluarga.
Ada juga anak anak yang menghentikan niat sekolah atau kuliah, karena masih memiliki adik adik yang masih kecil. Anak anak ini secara kesadaran sendiri, mendahulukan adik adiknya, jelas Jasra.
Begitupun Ilma Sovri Yanti Ilyas dari Gerakan Bantu Keluarga yang saat ini berusaha mencari jalan keluar 50 anak dari 21 keluarga.
Ketika menemui mereka satu persatu, begitu dalam kisah yang kesedihan yang dibawa keluarga. Kesedihan ini, menjadi perjalanan yang akan terus diingat, karena sangat membekas. Kita tidak bisa menghilangkannya. Tapi kesedihan ini harus didampingi.
Salah satu anak umur 10 tahun mengatakan, kalau ingat Bapak ya sedih, inginnya memeluk guling yang biasa dipakai Bapak. Begitu juga kalau lagi main, terus ingat Bapak, langsung pulang.
Ada lagi kisah anak perempuan 12 tahun, yang hidup 3 bersaudara. Ia sangat sedih, karena mamanya menjual barang barang di rumah, hanya demi kakaknya yang kuliah. Begitu juga biaya pendidikan ia dan kakaknya.
Ilma menyampaikan, sebenarnya anak perempuan ini, punya keahlian menggambar anime. Untuk itu saya yakinkan dia, bahwa dari karya animenya bisa. bantu mama dan uang kuliah kakaknya. Untuk itu Gerakan Bantu Keluarga sedang mencari berbagai pihak yang mau membeli karya karya mereka.
Jasra Putra juga menyampaikan hal yang sama, ada anak yang hidup terpisah dari Ibunya, sejak ayahnya meninggal karena Covid. Alasannya, anak tidak ingin merepotkan ibunya, karena masih ada adik adiknya.
Akhirnya ia memberanikan diri menjadi penjaga sekolah, demi bisa membantu Ibunya. Bahkan sekarang ia sedang melobby pihak sekolah mau menerimanya sebagai siswa di sekolah tersebut. Saat Jasra Putra menemuinya di Jasinga Bogor, nampak anak sangat bersemangat dan ingin merubah nasib keluarganya.
Ada lagi kisah anak tunggal yang sampai sekarang, tidak menerima ayahnya meninggal karena Covid 19. Ia mengurung diri, dan menyiksa diri dengan benda tajam. Syukurnya, ibunya segera mengetahui, dan meminta bantuan psikolog. Saat ini anaknya sudah lebih baik, namun masih butuh perhatian khusus, sehingga sama sekali tidak bisa ditinggal, lanjut Jasra.
Husni Munir dari Gerakan Bantu Keluarga menyampaikan, kisah anak tunggal ini menyatakan ia belum mendapatkan tempat untuk menyampaikan kesedihannya. Bisa jadi, pola komunikasi orang tua dan anak, perlu di dalami. Baginya dengan menyiksa diri, ia mengalami kesulitan komunikasi di dalam keluarga, sehingga mencari perhatian dengan menggunakan benda tajam. Meski pendamping harus memperdalam kondisi anak dan ibunya.
Ini juga terkait sifat dan karakter anak, yang mungkin lebih introvert dan hanya bisa menyampaikan kepada almarhum ayahnya. Sehingga anak mengalami hambatan berkomunikasi dengan ibunya. Tapi sekali lagi, sangat perlu pendampingan yang berkelanjutan.
Saya menyarankan untuk anak tunggal ini, jangan langsung digali dari masalahnya. Mungkin di awal bisa di gali apa hobbynya, apa kesukaannya, jangan bicara kesedihan tentang ayah didepannya, ibunya bisa mulai lebih mendengar anaknya. Dari sinilah pendamping bergerak, mengajak anak tunggal tersebut.
Itulah kisah kisah yang diikuti KBAI dalam undangan liputan bersama Majelis Pelayanan Sosial Pimpunan Pusat Muhammadiyah dan Gerakan Bantu Keluarga.