Masa orientasi sekolah baru dimulai, namun telah terjadi kekerasan psikis terhadap peserta didik baru. Jasra Putra Komisioner KPAI menyayangkan masih ada sekolah dijaman keterbukaan yang menekankan partisipasi aktif peserta didik, justru tidak mengindahkan Pergub DKI Jakarta nomor 26 tahun 2015 tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru, yang harusnya dimanfaatkan sekolah dalam masa perkenalan, menjalin keakraban, kebersamaan, tenggang rasa, saling peduli, saling melindungi dan membantu agar peserta didik baru dan antara peserta didik baru dengan peserta didik senior, sebagaimana penjelasan pasal 4.
Anak anak senior berbuat represif kepada peserta didik baru merupakan eksploitasi anak, artinya anak anak tidak mengetahui bahwa guru mereka sedang menempatkan posisi murid muridnya menjadi terancam melakukan itu dan para guru telah mempertaruhkan jiwa dan keselamatan mereka. Yang akan berakhir kekerasan antar generasi di dalam sekolah. Disisi lain sekolah sedang membangun relasi kuasa senior dan junior di sekolah. Artinya ini posisi tidak sehat dalam ruang edukasi kita. Para Guru yang melakukan pembiaran akan dapat dipidana dalam eksploitasi anak anak dalam Undang Undang Perlindungan Anak, dan hukumannya sangat berat.
Bila Guru dibayang bayangi barrier perbedaan umur dan budaya peserta didik baru, lalu memanfaatkan peserta didik seniornya melalui OSIS untuk menakuti mereka, tentu saja akan menyimpan kekerasan baru, yang bisa terjadi kedepannya. Baik yang akan menimpa murid guru dan lingkungan sekolah, semuanya dalam posisi terancam, yang sewaktu waktu ada pembalasan. Bagaimanapun anak terutama SMP diumurnya 13 tahun sedang menjalani masa pencarian dan tumbuh kembang. Bila mendapatkan stimulan seperti ini, maka dipastikan anak anak akan mengelami gangguan psikologis, yang akan berdampak pada masa belajarnya di ruang edukasi sekolah.
Karena kekerasan itu adalah warisan, dan ini berbahaya, harus diputus di sekolah tersebut. Saya menyarankan orang tua memproses bullying yang terjadi dan meminta sekolah untuk mengubah cara masa orientasi sekolah. Bila tidak terjadi KPAI dan Kemendikbud siap turun ke sekolah menerima pengaduan orang tua.
Kami masih merahasiakan nama sekolah dan tempatnya, namun bila tidak ada perubahan, KPAI akan datang ke sekolah mendengarkan pengaduan orang tua dan para murid. Tentu konsekuensinya sangat jelas dari Kemendikbud atas warisan kekerasan tersebut.
Jasra menyarankan, meski ada aturan sekolah, namun wali kelas bisa membangun suasana yang mendukung di ruang kelas. Dengan membangun konsensus bersama peserta didik barunya di kelas.
Seharusnya Ketakutan ketakutan itu bisa di kurangi para Guru, dengan para guru mengerti dunia partisipasi anak, mengenalkan ke mereka apa itu satuan pendidikan, mengajak mereka melihat langsung, dan mereka membuat penilaian dan mempresentasikan, kemudian mendapatkan feedback dari guru mereka.
Selepas itu wali kelas dapat membangun konsensus bersama di kelas, agar pelajaran dan kegiatan disekolah dapat berlangsung dengan baik. Dengan cara setelah sesi tersebut, dikelas masing masing para guru menanyakan apa yang diinginkan anak anak setelah mengenal sekolah, dan belajar seperti apa yang diinginkan anak anak.
Setelah diinventarisir di papan white board atau papan tulis. Baru ditanyakan kembali, untuk mencapai itu tentu butuh aturan yang disepakati selama dalam kelas. Apa yang harus ada untuk mencapai keinginan tadi yang sudah disampaikan anak anak.
Selain itu mendidik, mengasuh dan mengayomi menjadi kapasitas tambahan buat guru, untuk menghadirkan sekolah menjadi lembaga keluarga ke 2 buat anak. Mungkin ini bisa menjadi usulan turunan aturan yang menjadi komitmen bersama wali kelas dan murid, selain aturan sekolah yang sudah ada.
Bila itu terjadi sekolah justru akan terbantu meningkatkan kualitas, karena mendapatkan masukan dari end user yaitu para peserta didik baru. Tentu sekolahnya akan teruji dan direkomendasikan banyak orang tua murid mendapat peserta didik baru.