Pernah mendengar kisah mereka yang dipaksa aborsi. Atau seorang Ibu diminta mengugurkan kandungannya, karena penyandang disabilitas atau kesehatan yang buruk.
Belum lagi teman teman kita yang mengalami kekerasan akibat salah memilih teman atau pasangan.
Rentetan kekerasan mulai dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual menjadi persoalan kejahatan kemanusiaan yang sulit dihentikan.
Vitria Lazzarini Latief melalui akun facebooknya mengajak kita mengenali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
RUU ini berangkat dari pengalaman mendampingi korban kekerasan seksual. Pengalamannya bukan dari satu dua kasus, tapi ribuan kasus setiap tahunnya.
Dalam RUU ini kita diajak melindungi mereka yang alami pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Perkosaan dalam perkawinan memang diatur dalam RUU ini karena banyak kasus dimana pasangan memaksa melakukan hubungan seks dengan cara yang keji dan merendahkan, yang berdampak secara serius pada kondisi psikis maupun fisik sang istri.
Mengapa pemaksaan pelacuran diatur dalam RUU ini? Karena UU tindak pidana perdagangan orang dan KUHP tidak cukup melindungi korban tindak pidana. RUU ini sekali lagi untuk melindungi praktek kekerasan seksual yang selama ini tidak dapat dilindungi oleh UU yang sudah ada.
RUU ini juga ingin melindungi mereka yang dipaksa menggugurkan kandungan dengan alasan si ibu tidak mampu mengasuh anak karena kondisi khususnya, baik karena disabilitasnya ataupun karena kondisi kesehatan.
Ia mengajak kita semua memahami persoalan pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Seperti berdialog dengan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia atau ke Ikatan Perempuan Positif Indonesia. Di sana kita bisa menemukan sisi kelam dimana para ibu tidak berdaya melindungi janin mereka sendiri.
RUU ini sedang bicara untuk mereka, yang tidak bisa bicara atas namanya sendiri, tegasnya. Sudah terlalu banyak korban yang membutuhkan pemulihan panjang.