Kegalalan Pendidikan, Kegagalan Komunikasi Guru dan Pendamping Belajar

Di satu sessi pembelajaran PJJ, nampak seorang guru, sedang menegaskan ke murid kecilnya, pentingnya mengerjakan semua tugas yang sudah di berikan para guru. Maklum saja guru ini cukup kesal, karena khusus satu murid ini, tidak pernah mengembalikan pr yang ia berikan. Tak ayal, situasi diskusi menjelaskan gurunya, menjadi sangat menegangkan. Di sisi lain murid lain yang ikut mendengar hanya berfikir ‘kok anak tersebut malas sekali’, Hal itu, lebih nampak respon spontanitas anak, dan disampaikan dengan cara berfikir anak.

Setelah panjang lebar mengajak muridnya mengerti, tibalah pertanyaan guru, menanyakan orang tua si anak, di mana orang tua? Sehingga kamu tidak pernah mengerjakan pr.

Disanalah tiba tiba anak berurai air mata, karena selama ini, ia PJJ sendirian, andaikan ada yang dimintai bantuan, semua orang di rumah sudah lelah. Maklum saja orang tua si anak bekerja dari pagi sampai malam. Namun bagi gurunya itu bukan suatu alasan, si murid harusnya bisa berkomunikasi dengan orang tuanya.

Disinilah nampak, kesulitan masalah belajar, bukannya menjadi komunikasi antara guru dan orang tua, tetapi menjadi komunikasi tidak seimbang antara guru dan murid.

Artinya, ada hambatan komunikasi, tidak mudah komunikasi antara sesama orang tua (yakni guru dan orang tua siswa), untuk memberi solusi kepada anak, tentang kondisi pembelajaran di sekolah dan kondisi pembelajaran di rumah.

Masih banyak barrier antara guru dan pendamping untuk bisa mendiskusikannya secara terbuka. Memang tidak mudah, selain masalah komunikasi, juga dukungan media belajar untuk memudahkan anak juga menjadi hambatan besar, bila tidak ada.

Disinilah faktor terbesar penyumbang kegagalan belajar dalam PJJ. Namun bukan berarti PTM juga jawaban, karena jika pembelajaran yang sudah di lakukan di sekolah, setiba di rumah juga tidak di dukung orang tua. Maka ujungnya sama saja, yang korban adalah siswa.

Di luar percakapan itu, sekolah juga baru saja mengeluarkan survey tentang kesiapan murid masuk sekolah lagi melalui PTM. Yang hasilnya memberi jawaban beragam. tidak semua orang tua siap mengantarkan anak ke sekolah, hal tersebut di karenakan pandemi belum berakhir, alasan lain lebih kepada alasan ekonomi.

Di sisi guru, mereka merasa belajar dirumah tidak ideal, dan kondisi di sekolah juga menuntut pencapaian belajar dan target sekolah.

Memang latar belakang keluargalah yang sebenarnya memnentukan keberhasilan belajar, baik mendukung proses belajar di sekolah maupun proses belajar di rumah. Yang harusnya jawaban kita semua berorientasi pada kemudahan belajar bagi para siswa. Sehingga model belajar PJJ dan PTM menjadi model belajar yang bisa di pilih, tanpa harus terbebani.

Namun kenyataannya tidak mudah, dari pengamatan KBAI melihat kondisi pembelajaran saat ini. Namun belajar sendiri adalah proses panjang bagi anak untuk memahami. Jika hal ini terputus atau gagal dipahami orang tua dan guru, maka sebagus apapun metode PJJ atau PTM akan tetap meninggalkan si murid.

Bahwa proses belajar itu sendiri adalah proses semua orang yang terlibat dalam proses pembelajaran. Hanya saja sering kali terjebak, pada target yang ditentukan masing masing orang dewasa dalam mendorong anaknya mau berpartisipasi belajar, sehingga upaya belajar yang harus disertai kesadaran anak, sering terputus karena anak gagal paham keinginan orang dewasa.

 

Check Also

Alat Kontrasepsi, Perdebatan dan Kekhawatiran Nakes

Dunia jagad pendidikan kita, baru saja diramaikan perdebatan alat kontrasepsi. Hal itu terjadi karena pencantuman …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *