Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. Vestibulum tortor quam, feugiat vitae, ultricies eget, tempor sit amet, ante. Donec eu libero sit amet quam egestas semper. Aenean ultricies mi vitae est. Mauris placerat eleifend leo.

KEBIRI, Harus Perhatikan Pesan Mereka

Aliansi Pengasuhan Berbasis Keluarga-Asuh Siaga pada pertemeuan 21-23 Oktober di Bogor, menyerukan pentingnya pengasuhan berbasis keluarga
Aliansi Pengasuhan Berbasis Keluarga-Asuh Siaga pada pertemeuan 21-23 Oktober di Bogor, menyerukan pentingnya pengasuhan berbasis keluarga

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh, melalui advokasi sistematik yang dipelopori KPAI menyatakan bahwa dalam rapat terbatas tersebut KPAI mengusulkan penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk pemberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual yang diapresiasi dan didukung oleh Presiden Jokowi dalam Sidang Kabinet Terbatas (oleh Mensos, Meneg PPPA, Menkes, Mendiknas, dan Jagung, serta diamini Presiden) untuk dijadikan UU bahkan mendesak lahirnya Perpu. Selain itu, Presiden juga menyepakati sejumlah langkah tegas untuk mencegah kekerasan seksual, antara lain dengan memperketat pemblokiran situs pornografi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan memasifkan pendidikan pranikah oleh Kementerian Agama. Sebelumnya, Jaksa Agung Prasetyo mengatakan Presiden Joko Widodo setuju diterapkannya hukuman tambahan berupa pengebirian bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak untuk menimbulkan efek jera.

Bagaimana melihat pro dan kontra tentang usulan hukum tambahan bagi para penjahat seksual tersebut, berikut rangkuman KBAI.
 
Boyke Dian Nugraha mengatakan pelaku yang sudah dihukum kebiri masih berpotensi melakukan aksi kejahatan selama kondisi mentalnya tidak diobati. Kebiri bagi paedofil tidak efektif tanpa disertai pemidanaan lain dan rehabilitasi terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak. ”ibaratnya yang sakit itu disini (memegang kepala) namun yang diobati disini (memegang bagian bawah kelamin)”. “Yang sakit itu kan jiwanya, kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya, makanya saya kurang setuju dengan diberlakukannya itu”.

Menurut dr. Rachmad Santika, Etika kedokteran bertugas menjaga kesehatan jasmani rohani dan fungsi sosial. Pedophilia adalah termasuk dalam golongan penyakit jiwa. “jadi agak sulit membuat norma hukumnya, sementara penderita jiwa bebas demi hukum. Oleh karena itu perlu penyusunan naskah akademis yang komprehensif”. Ujarnya dalam pesan singkat yang diterima KBAI.
“Dan obat yg dipergunakan pun terbatas untuk hyper tropi prostat sehingga perlu ditanyakan ke PB IDI apa pandangannya. Selama ini dokter diajarkan etika untuk menyehatkan dan tidak untuk membuat orang sakit atau menurunkan kemampuan organ tertentu. Jadi dari segi medis termasuk pelanggaran etika”.

Sependapat dengan Ahli andrologi dan seksologi dari Rumah Sakit Siloam, dr. Heru H. Oentoeng, M. Repro, Sp. And, FIAS, FECSM mengatakan hukuman kebiri akan sia-sia jika tidak didampingi dengan pemidanaan dan rehabilitasi. Dia mengaku tidak setuju jika hukuman kebiri diberlakukan sebagai hukuman utama. “Hukuman utamanya penjara dan rehabilitasi dan kebiri sebagai hukuman tambahan, okelah. Sebagai dokter kami tidak ingin membuat orang cacat, titik,” kata dia.

Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai hukuman kastrasi atau kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual tidak tepat karena hasrat seks tidak hanya lahir melalui hormon melainkan bisa muncul melalui fantasi. Predator yang sudah lumpuh bisa menggunakan cara non-persetubuhan dan mendorong orang lain untuk menyalurkannya,” kata Reza Indragiri Amriel dalam pesan singkatnya, Rabu. Reza Indragiri menjelaskan kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) tidak akan menjamin pelaku jera atas perbuatannya.

Menurut Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan dalam suatu diskusi, Hukuman semacam itu (kebiri) sama dengan hukuman yang keji, penganiayaan, termasuk hukuman mati. RUU kekerasan seksual sudah jauh hari disiapkan, terutama juga supaya ada perhatian negara pada perlindungan korban, lalu saya tak mengerti mengapa muncul kebiri ini. Padahal, perkosaan itu bukan soal nafsu seks, tapi relasi kuasa dimana seks sebagai senjata penundukkan yang lemah. Jadi buat apa solusinya pada kelamin? Lagipula, kita perlu memikirkan ketidakberulangan pada korban berikutnya. Di RUU Kekerasan Seksual, semua hal itu sudah dipikirkan. Hukuman itu bukan untuk melampiaskan dendam, tetapi mengembalikan keadilan.

Sementara itu banyak pihak yang melakukan protes dengan mengeluarkan release sebagai pandangan pendapat dan alasan dalam permasalahan hukuman tambahan kebiri ini. Seperlima adalah sebuah aliansi yang terdiri dari berbagai lembaga dan elemen, mengeluarkan release menyatakan kebiri bukanlah solusi untuk mengurangi maraknya kekerasan seksual dan penerapan hukuman kebiri adalah bentuk pemidanaan yang tidak dapat ditarik kembali jika terjadi salah tangkap. Hal ini secara lebih lanjut akan berimplikasi pada ketidakadilan hukum.
 

Terkait gagasan Presiden untuk memberikan hukuman tambahan bagi para pelaku kejahatan seksual dengan mengebiri syaraf libido pelaku (kebiri) merupakan hak Presiden, kata ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono, Kamis (22/10/2015). Hak Presiden dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 2 yaitu Presiden memiliki wewenang untuk mengajukan RUU ke DPR dan wewenang memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahas dengan DPR. Meskipun memiliki wewenang sepanjang disetujui oleh DPR, namun untuk mewujudkan gagasan tersebut Presiden tetap harus memperhatikan batasan-batasan yang dikehendaki oleh UUD 1945. “Batasan yang pertama adalah mengenai jenis peraturan perundang-undangan yang akan digunakan untuk mewadahi gagasan ini,” kata Bayu.

 

Pemerintah bakal mendiskusikan usulan terkait wacana pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak dengan pengebirian syaraf libido. Menurut Jusuf Kalla, ada beberapa hal terkait dengan permasalahan itu antara lain seperti persoalan hak asasi manusia dan faktor masalah kesehatan. Wapres juga mengemukakan bagaimana persoalannya jika orang yang dikebiri ternyata diketahui kemudian tidak bersalah.

 

Menteri Sosial menjelaskan pula bahwa pengebirian nantinya tidak akan diterapkan pada semua pelaku kekerasan seksual pada anak, akan ada kriteria dan klasifikasi pelaku kejahatan yang dikenai pemberatan hukuman dengan kebiri.

“Misalnya diterapkan kepada pelaku kekerasan seksual, terutama yang menimbulkan efek berantai. Jadi misalnya predator menimbulkan predator berantai, dia melakukan sodomi bisa menimbulkan sodomi berantai, kalau dia paedofil bisa menimbulkan paedofil berantai,” katanya.  Ia mengatakan, “pengebirian bisa dilakukan dengan cara apa saja misalnya dengan bedah syaraf libido, bisa dengan suntik, bisa mengoles bahkan bisa dengan minuman.”

 

Giwo Rubianto Wiyogo, Pemerhati perempuan dan anak menilai hukuman kebiri pantas diterapkan kepada pelaku kejahatan seksual. Hukuman kebiri dinilai pantas untuk membuat jera pelaku kejahatan seksual agar anak Indonesia terselamatkan.

 

Komisi VIII DPR RI Deding Ishak mengapresiasi upaya pemerintah yang akan mengkaji hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan terhadap anak, ini sangat biadab. Menurut Deding saat ini terjadi darurat kekerasan dan kejahatan terhadap anak. “Saya mengapresiasi langkah Presiden Jokowi, Hukuman kebiri itu layak ” kata Deding Ishak kepada pers di Jakarta, Kamis.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly kini tengah mengkaji bersama dengan instansi terkait lainnya mengenai wacana pemberian hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia. Yasonna mengharapkan agar wacana pemberlakuan kebiri itu untuk mengurangi libido bagi pelaku pedofilia yang sudah ada pada tahap ekstrim.

Begitu juga Hadi Utomo dari Bahtera menyampaikan Kebiri merugikan anak, ada pelajaran ‘balas’ dan itu akan menjadi psikologis yang kurang baik untuk anak Indonesia. perlu ada yagn diatur dalam dampak pengebirian. Anak yang tidak jadi korban akan mendapat efek kebiri ini. Dampak rugi anak akan belajar dendam dari pendidikan itu, anak anak semakin sulit untuk memaafkan kecuali kasus perkosaan. Dengan ini Anak kemudian akan belajar bagaimana cara membalas ‘retributive’. Itu ajaran penjajah, KUHP itu retributif karena menganut hukum balas. Tentunya dalam kasus ini jaksa yang tidak terlibat secara emosional kemudian menggunakan hukum retributif ini. Akhirnya jaman penjajahan akan kembali. Indonesia dijajah belanda, belanda dijajah perancis, dan Indonesia kemudian menjajah bangsanya sendiri

Ketika kita ribut kebiri sebenarnya sedang melatih anak anak untuk membalas. Tetapi ingat kegeraman kita tidak boleh ditularkan ke psikologis anak karena akan jadi negatif. Apalagi terlalu cepat bicara tentang darurat dan sampai ke anak anak. Ini akan sangat menggangu psikologis dan tumbuh kembang anak. Apakah dengan darurat kemudian semua terselesaikan. Apakah kasus perkosaan baru ada sekarang, atau sudah terbiasa terjadi disekeliling kita. Saya sangat menyanyangkan sikap sporadis ini terjadi. Banyaknya kasus harusnya menjadi koreksi terhadap sistem yang tidak berjalan dengan sistematik. Kita harus belajar dari Brazil yang menghukum pemerkosa sampai 153 tahun. Disanalah proses intervensi terhadap pemulihan kemanusiaan berlangsung. Dengan semua menunjukkan emosi  mulai dari pejabat, LSM kepada anak anak. Ditangkap anak ini hukum balas, dan merugikan tumbuh kembang anak kedepan

 

Dalam kata penutupnya Hadi Utomo menyampaikan seharusnya para pembantu Presiden lebih memperhatikan forum kemarin sebagai respon cepat Presiden terhadap perhatian besarnya kepada anak anak Indonesia. Saya membayangkan pertemuan kemarin membahas perlindungan anak, mulai dari pencegahannya, pendidikan disekolah, pendidikan pra nikah. Kemudian Tahap kedua bagaimana dukungan untuk korban dan pemulihan pelaku. Kemudian kebiri adalah pembicaraan terakhir. Hanya sayangnya kenapa yang keluar lebih permasalahan kebiri bukan respon substansi permasalahan anak dengan mendekatkan sistem perlindungan anak seperti arahan Bapak Presiden.

Saya kira pengarahan Bapak Jaksa Agung juga begitu ‘bisa kebiri asal ada dasar hukumnya’, Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan dimintai pendapat teknis dan pemulihannya. Presiden menanyakan dasar hukumnya. Artinya Kebiri itu hanya salah satu pembahasan dari sekian isu yang sedang dibahas. Untuk itu sebaiknya masyarakat jangan sampai terkecoh sehingga merugikan anak anak kita. Kalau dilemahkan hanya salah satu organ tubuhnya, saya menjamin sistem perlindungan yang dimaksud dalam pembahasan itu takkan pernah terjadi. Kalau misalnya hukum mati itu paling jelas atau dihukum seumur hidup dalam rangka pemulihan.

 

Saya kira ada yang memanfaatkan forum kemarin, sehingga dilahap santap oleh media. Pembahasan tentang kebiri hanya sub didalam pembicaraan membangun sistem perlindungan anak. Padahal yang dibahas pranikah, ketahanan keluarga. Saya kira KPAI harus kembali ke rel yang benar atas hasil rekomendasi bersama Presiden kemarin. Mari KPAI harus mengembalikan substansi, bukan kebiri itu yang menjadi substansi. Namun membangun pencegahan, bahwa ada upaya anak terhindar dari kekerasan. Saya kira Presiden membahas lebih dasar dan substansi, jangan lagi kita terjebak dengan kebiri, karena itu perlu diatur regulasinya

Check Also

Alat Kontrasepsi, Perdebatan dan Kekhawatiran Nakes

Dunia jagad pendidikan kita, baru saja diramaikan perdebatan alat kontrasepsi. Hal itu terjadi karena pencantuman …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *