Dua Sisi Melibatkan Pelajar Demonstrasi

Ruang Edukasi Terlalu Sempit, Ruang Reaksi Begitu Cepat

Katakan Binar namanya. Ia hidup di tengah kampung padat dengan teman teman sebayanya. Hidup di gang bagi Binar hal yang tidak bisa ia pilih. Karena itulah tempat hidupnya. Tapi namanya remaja, tentu senang berkumpul dengan teman sebayanya. Hanya saja kumpulnya mereka sering di protes karena terlalu bising di tengah gang senggol. Akibatnya Binar dan teman teman biasa mendapatkan kata keras dari rumah yang merasa tidak nyaman kehadiran mereka. Sehingga tempat tongkrongan Binar dan teman teman sering berpindah

Binar dan teman teman juga sering kesal, dengan larangan para orang dewasa. Akhirnya merembet menjadi stigma, yang membawa mereka di marahi orang tuanya. Akibat laporan tetangga tetangganya. Tapi Binar dan teman teman tidak kehilangan akal, mereka mencari tempat ujung gang buntu yang gelap dan ditempati rumah tua rusak itu. Mereka merasa aman disini, tidak ada yang mengusir mereka. Namun perbuatan beberapa teman teman menyebabkan tempat gelap itu jadi persoalan baru.

Pertanyaannya, dimana tempat bermain anak, ditempat terang diusir, ditempat gelap di stigma. Binar dan teman teman sebenarnya tahu sejak kecil, mereka tinggal di gang, kearifan kearifan lokal yang ada juga mereka mengerti. Namun belakangan omelan omelan itu menghilangkan kepekaan Binar dan teman teman akan daerahnya. Mereka tidak punya tempat berekspresi atas kearifan dan kepekaan yang harusnya bisa mereka jaga. Karena selalu terusir.

Celoteh teman Binar ketika melihat berbagai aksi penolakan cukup mengkagetkan kita orang dewasa. Sambil memegang hpnya melihat berbagai unggahan kreatif di aplikasi tiktok melalui akun Role Player Indonesia, mereka seperti mendapat saluran dengan sumbatan yang selama ini diterima di gang dan orang tuanya. Dengan mengatakan Wah keren ya mereka berani menumbangkan pagar, merusak, membakar. Seharusnya anak muda begitu. Bebas bisa ngomong kalau nggak suka atau tidak suka. Sambil ngeri ngeri sedap memikirkan luapan agresifitas yang muncul setelah lama di sumbat.

Maklum kata Binar, anak anak sering diprotes kalau main di depan rumah gang orang. Jadinya anak anak itu pada kesel dan berontak, akibatnya ber’ulah’. Beberapa cari tempat gelap, itupun anak anak ujungnya disangka yang nggak nggak. Terus mereka harus berada dimana, Kak.

Makanya ketika anak anak merasa dihambat, ketika muncul anak anak berani bakar, jatuhin pagar, mereka bilang seharusnya kita begitu anak muda. Tidak di sangka yang nggak nggak, berekspresi dong, punya sikap, ada yang sembarangan sekarang ini, tidak mau mendengar. Iya mereka itu Kak. Kerjaan mereka buat aturan dan larangan mulu. (Begitulah pandangan anak yang awam)

Ada sih yang ngingetin kita, tapi nggak bakalan masuk, karena nggak juga jadi jalan keluar masalah. Ujung ujungnya jadi omelan, larangan dan diusir lagi. Kalau anak anak yang di rumah aja atau biasa punya tempat curhat dan punya fasilitas, mereka bakal duduk manis saja, kalau ada masalah begini. Kalau kami tidur aja gantian sama orang tua dan saudara, dah sempit, padat, mau gimana lagi.

Kami tahu masalah kami, tapi tidak ada saluran, maka ya pada kumpul di medsos, dan solidaritas teman teman tinggi, ketika ada masalah, seperti sekarang.

Seorang aktifis anak menanggapi tulisan ini, memang Negara sudah punya Forum Anak, tapi belum serius dikelola, jika dilihat indikator keterbatasan pembiayaan program-program bagi anak diseluruh Indonesia.

Demo memang bukan saluran yang tepat buat anak, juga tidak identik dengan partisipasi. Karena itu pelibatan anak harus dicegah. Tapi juga komitmen Negara harus ada. Kalau tidak maka ada orang orang yang tidak bertanggung jawab, terus memanfaatkan mereka. Harusnya sih sejak dini itu dilakukan pada anak anak, sesuai usia dan pemahamannya. Harusnya ruang-ruang dialog yang aman dan aman bagi anak harus banyak diciptakan dan menarik bagi anak. Seperti isu sekarang. Mereka nggak punya wadah, jadi begini, Ditambah mereka tidak bisa berekspresi dari rumah, sehingga kegiatan seperti ini jadi penyaluran. Ditambah masa Covid 19.

Keberpihakan anggaran, kebijakan masih sangat lemah untuk partisipasi anak secara luas. Ada sih Undang Undangnya, tetapi berapa yang dialokasikan waktu, ilmu, kesempatan dan anggaran buat mereka. Sekali lagi demonstrasi tidak identik dengan partisipasi anak.

Kalau dulu masih kecil, mungkin ketika tidak didengarkan atau dikecewakan mereka hanya nangis, stress, reaksi lemah karena ketidaksetujuan, tapi kalau dibiarkan lama dan tumbuh kembang mereka tidak tersalurkan dengan baik, maka ketika demo seperti ini, jadi ajang saluran, peluapan, ledakan, ditambah keterbatasan karena covid. Maksudnya mereka sudah mampu menyatakan ekspresi mereka dan mereka merasa penting, tidak bisa di sepelekan.

Jadi kalau mau diredam, sudah seharusnya ada orang dewasa yang berjiwa besar bicara tentang sumbatan sumbatan anak dan remaja dalam menyampaikan pendapatnya.

Karena memang tahapan pelibatan anak, membangun partisipasi anak, masih menjadi upaya yang minim. Sehingga ketika kita bicara stop pelibatan dan penyalahgunaan anak dalam demonstrasi dan politik, kenyataannya berbanding terbalik dengan upaya Negara yang belum melibatkan anak dalam partisipasi persoalan kebangsaan, secara bertingkat sesuai umurnya. Ini gap besar kita, sehingga ledakan reaksi lebih cepat dibanding edukasi cara menyampaikan pendapat untuk anak. Karena terbelunggunya partisipasi anak sejak dini, mereka tahu persoalan terdekat mereka, tapi jarang dilibatkan. tetapi munculnya ke mereka larangan, tidak boleh, sok tahu, dan masih kecil lo

Negara gagal memberi informasi yang layak untuk anak, sehingga pemberitaan yang muncul seperti peristiwa ini. Tindakan yang di lakukan remaja sekarang ‘bagi mereka itu keren’, ‘seperti perjuangan mereka yang selama ini di ‘belenggu’ (makna dalam arti luas) Sehingga bisa diperjuangkan melalui momen ini.

Demo pelajar, adalah inginnya pelajar beraktualisasi dalam politik, yang di belenggu, tapi dengan meluapnya informasi politik yang tidak bisa dicegah. remaja kemudian ada di mana mana dalam mengekspresikan sikap politiknya yang di jamin Undang Undang.

Saya melihat cara mereka menyampaikan pendapatnya, meski terkadang nampak salah dan sangat konyol, dengan mengibaratkan bila satu pesawat di isi pembuat keputusan hari ini, kemudian jatuh, maka berapa orang yang selamat? Jawaban mereka yang selamat kita dan seluruh rakyat Indonesia yang tidak naik pesawat.

Padahal sudah di sosialiasikan apa yang menjadi keputusan, tapi anak anak dan remaja menerimanya tanpa di bekali Negara, akhirnya mereka punya media sendiri untuk mendiskusikan di medsos mereka. Artinya edukasi yang di gembar gemborkan negara (tidak terdengar di mereka). ini yang perlu kanalisasi.

Jadi yang muncul adalah kekesalan, keren, berani bakar bakar. Karena memang mereka biasa ditekan, harus begini dan begitu, tapi realitanya yang dewasa terus mencederai. Jadi mereka terlanjur dimasuki berbagai narasi seperti itu. Hastag mereka Mosi Tidak Percaya di setiap konten publikasi yang di share di grup medsos mereka.

Respon kecepatan penanganan situasi ini menjadi kunci intervensi, ditengah kondisi manusia yang butuh ruang aktualisasi, sambil mencegah secara paralel dan juga segera menjawab kebutuhan mereka.

Apa lagi kebosanan yang kamu dustakan di masa Covid 19? Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dikeluhkan hanya berujung tugas tugas, dan yang mengerjakan tugas mereka sekarang adalah orang tuanya (dengan beban domestik yang terus berlapis). Karena belajar PJJ atau belajar onlinenya lama lama hilang. Meninggalkan rentetan tugas rumah yang harus di tulis tangan panjang. Itu yang disampaikan Ibu Ibu yang anaknya dalam satu kelas. Sekarang Ibunya yang berkelompok belajar, anak bermain diluar. Lalu buat apa teknologi online dalam belajar? Bila hanya memindahkan aktifitas offline ke online.

Tentu di tengah keterbatasan Covid, energi yang tidak tersalurkan dengan baik dari remaja kita, tidak bisa dilihat secara sepele, harus ada upaya inovasi, gotong royong, kerjasama, agar anak anak tidak terus terpicu ikut demo.

Masih ingat bertemu anak anak di penjara, mereka sebenanya menanyakan ‘pertanyaan kritis’ namun yang dimunculkan aturan dan larangan larangan. Ketika penasaran mencoba sendiri, berakhir di penjara, Karena tidak ada yang memandu.

Seperti ketika teman teman Binar ditanyakan kenapa tidak pakai masker, mereka bertanya balik, kenapa kami tidak boleh main disini? padahal tidak ada tempat lain di gang ini. Artinya sesunguhnya mereka tahu masalah yang ada, tapi mereka seperti menjadi anak yang tidak dipercaya. Dan perlu mengekspresikan agar bisa di percaya lagi. Apakah harus dengan demo dan bakar bakaran, tentu tidak!!! Jangan salahkan bila mereka mulai hilang, dimatikan sensitifitas akan kearifan lokalnya, sejak larangan dan ketakutan itu diciptakan untuk anak anak dan remaja. Sehingga Ruang Edukasi Terlalu Sempit buat mereka, tetapi Ruang Reaksi Begitu Cepat dan Meluas sekarang untuk mereka. Karena sudah lama Bro and Sis

Check Also

Hari Anak Dunia: KPAI Ingatkan Situasi Anak Dalam Kemiskinan Sangat Multi Kompleks

Rapat Koordinasi Nasional dalam Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Khusus Anak yang di selenggarakan Komisi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *