Home / KBAI Reportase / Langgar SOP Aturan Pendidikan, EO dan Sekolah Pantas Mendapatkan ‘Hukuman’ Atas Meninggalnya 5 Siswa

Langgar SOP Aturan Pendidikan, EO dan Sekolah Pantas Mendapatkan ‘Hukuman’ Atas Meninggalnya 5 Siswa

Dunia pendidikan Indonesia berkabung atas Studi Tour atau Field Trip atau Outing Class yang mempertaruhkan nyawa bahkan sampai meninggal 5 orang siswa SMP Budhaya, Duren Sawit, Jakarta Timur, Indonesia.

Tentunya kita berharap semua, terutama para orang tua, yang tengah menitipkan putra putrinya di institusi pendidikan berharap, agar kejadian luar biasa pada kegiatan belajar yang mempertaruhkan nyawa bisa menjadi perhatian besar dan pembelajaran di institusi pendidikan.

Karena sangat penting, tanpa harus melebih lebihkan kejadian, ada 5 siswa yang meninggal dan agar tidak sia sia kematiannya. Bukan mengatakan tidak terlalu sedikit. Tapi ada generasi bangsa yang cita citanya kandas karena kegiatan pendidikan. Dimana pendidikan merupakan rangkaian cita cita dan harapan bagi anak anak Indonesia.

Perlu ada evaluasi mendalam, baik secara sistem dan SOP pendidikan di sekolah tersebut. Apa lagi ini adalah Study Tour atau Outing Class atau Field Trip yang biasanya diinginkan para Siswa, tentu banyak peminatnya. Hampir setiap sekolah di Indonesia mengadakan kegiatan serupa. Dan menbayarnya tentu mahal, karena uang ekstra selain SPP sekolah.

Tanyakan pada setiap pelajar, bahwa kegiatan diluar rutinitas belajar adalah sesuatu yang membahagiakan.

Karena belajar di luar lingkungan formal dan terbebas dari rutinitas belajar yang membosankan apalagi menekan dengan pencapaian ukuran ukuran nilai tentu sangat membosankan, penilaian di sekolah, menjadi penilaian keluarga, lingkungan dan masyarakat yang sangat membosankan buat generasi millenial dan generasi gadget, sehingga kegiatan diluar kelas menjadi impian para siswa. Jadi jika serta merta anak anak yang bahagia ini, kemudian disalahkan atas pelanggaran alih alih sudah diingatkan, sangat naif bukan?

Lalu bagaimana tanggung jawab EO penyelenggara promosi wisata yang kita bayangkan presentasi di sekolah, yang pastinya didalamnya menyampaikan keindahan alam dan menjamin faktor keselamatan, serta tujuan akademik yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Apakah tercapai atau meninggal? Pernyataan satir yang harus di jawab Sekolah dan EO Penyelenggara.

Karena sampai sekarang orang tua korban, Kepala Dinas Pendidikan Jakarta Timur dan Kepala Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta tidak mendapatkan jawaban dari sekolah atas peristiwa yang terjadi sebagaimana dilansir dari media pemberitaan, bahkan ada orang tua yang tidak menerima peristiwa tersebut. Belum lagi pasca kejadian anak anak diliburkan 3 hari sekolah akibat trauma, tanpa ada program pemulihan. Apakah dengan diliburkan anak anak atau para siswa dapat healing sendiri? Perlu perhatian bersama dan jadi SOP penanganan peristiwa serupa. Sekolah harus peduli dan diajak empati kepada peristiwa ini sampai kedepannya. Karena nyawa yang meninggal tidak bisa kembali, hanya perhatian yang bisa menyembuhkannya.

Apalagi situasi batin keluarga korban dan keluarga besarnya dari 5 siswa yang meninggal, tentu hari hari kedepan akan berat, apalagi ketika media dan publik kedepannya sudah tidak perhatian lagi. Tentu akan menjadi trauma mendalam menghadapi musibah sendirian.

Karena 120 anak anak yang selamat digambarkan pemberitaan media menyampaikan dengan getir peristiwa ini kepada orangtuanya. Lalu siapa yang bisa menjawab dan bertanggung jawab pada dunia pendidikan kita. Artinya perlu dijawab Mendikbud yang baru Bapak Nadiem Makarim untuk mewakili institusi pendidikan yang bungkam.

Jangan sampai peristiwa besar ini, tidak meninggalkan jejak perubahan di Institusi pendidkan kita. Karena peristiwa serupa banyak terjadi. Ini tantangan buat Mendikbud yang baru dalam merubah secara sistem dan edukasi hukum yang bisa menjawab atas peristiwa tersebut.

Karena sampai sekarang tidak ada yang berkata ‘sayalah yang paling bertanggung jawab atas peristiwa 5 siswa meninggal di lingkungan pendidikan’ Sekali lagi peristiwa tersebut terjadi di institusi pendidikan.

Ini persoalan ada 5 nyawa yang hilang, dan sampai sekarang tidak ada yang menyatakan diri yang paling bertanggung jawab. Kejadiannya pun ada di Institusi Pendidikan yang berdiri atas payung hukum dan jangan sampai terasa tidak ada hukum yang mampu menyentuh EO dan Sekolah atas kejadian ini.

Ini adalah kegiatan sekolah yang berbayar mahal. Sejak dipromosikan EO artinya ada pelibatan secara profesional. Ada kontrak kerja antara Sekolah dan EO. Bahkan sejak berdiri sekolah ini juga mengikuti aturan hukum dan SOP yang ada dalam penyampaian nilai tujuan pendidikan. EO dan Sekolah tidak bisa terlepas begitu saja atas peristiwa ini, karena kejadian serupa terlalu banyak. Silahkan searching saja di Google peristiwa serupa. Tewasnya siswa didik tentu bukan jauh dari nilai dan tujuan pendidikan. Artinya kita berharap wajah baru pendidikan menghadapi peristiwa seperti ini, memiliki tanggung jawab.

Kearifan lokal dimana lokasi Baduy luar menjadi lokasi keputusan EO dan Sekolah sebagai tempat tujuan Study Tour tentu sangat bagus. Ditengah promosi wisata lokal, bahkan pemerintah di era pemerintahan baru mencanangkan membangkitkan wisata lokal menjadi tujuan wisata dunia. Artinya EO dan Sekolah punya tujuan juga mempromosikan wisata. Namun perlu diingat anak anak adalah anak. Mereka punya diri dan sikap sebagai anak anak. Yang sangat haus hiburan, coba saja kita tanya kepada anak, betapa gembiranya ketika gurunya tidak ada dikelas, atau mapel kosong. Apalagi kegiatan Study Tour tentu seperti lepas dari rutinitas belajar yang membosankan. Bahkan guru guru yang terbebani kurikulum dan aktifitas mengajar juga sangat senang dengan kegiatan ini.

Namun anak tetaplah anak, sangat wajarlah anak anak ingin berekspresi bebas, salah satunya berenang. Apakah anak anak harus disalahkan? Mereka yang belum matang secara berfikir, dan perlu pendampingan. Mereka tidak bisa membela dirinya sendiri kecuali ada pendampingan.

Kearifan lokal Baduy luar harus tetap dihormati itu tidak berubah. Tapi jangan sampai faktor perkembangan dan psikologis anak tidak menjadi perhatian do and dont dalam mengunjungi suatu tempat wisata adat yang penuh kearifan lokal.

Mari lihat kembali apa yang sudah dilakukan EO dan Sekolah dalam tahapan memutuskan Study Tour di Baduy Luar. Apa sudah menjadi himbauan resmi berupa surat kepada orang tua, bahwa disana ada area terlarang. Sehingga orang tua memiliki pertimbangan dalam mengikuti acara Study Tour tersebut.

Karena anak anak notabene perlu pendampingan, perlindungan, pertimbangan dan pandangan atas setiap keputusan. Mereka tidak bisa membela dirinya sendiri, pun dalam kegiatan Study Tour. Apakah sekolah pernah mendengar prinsip dan etika bekerja dengan anak, diantaranya menjauhi anak dari tempat berbahaya, tidak membiarkan anak dalam tempat sepi, berduaan dengan anak di tempat yang sepi, anak tidak bisa membela dirinya sendiri dan sebagainya.

Promosi Wisata yang sedang giat dilakukan pemerintah, jangan sampai kontra produktif dengan peristiwa ini. Jangan sampai berdampak secara ekonomi bagi penduduk setempat yang mendapatkan pemasukan dari wisata alam penuh kearifan lokal akibat peristiwa ini. Kita punya kewajiban meluruskan peristiwa ini, sehingga tidak berdampak secara lokal dan pariwisata Indonesia di mata dunia, termasuk pandangan kepada Institusi pendidikan kita yang cenderung diam atas peristiwa ini.

Jangan sampai ada kesalahpahaman antara konsep wisata dan pendidikan yang ingin dicapai serta kearifan lokal yang sedang dipromosikan karena memiliki nilai nilai luhur untuk kelestarian dan keseimbangan alam Karena sebenarnya semua itu mempunyai tujuan yang sama yaitu mendidik.

Jangan sampai anak anak dijauhkan dari perlindungan di konsep wisata yang ingin dikembangkan. Ini jadi koreksi bersama. Seringkali anak anak terkorbankan di tempat pariwisata, bahkan tereksploitasi. Karena faktor human error’ dan terjebak dalam eksploitasi. Mereka tidak bisa dibiarkan sendiri dalam mengaksesnya. Memang diperistiwa ini ada alasan larangan secara adat. Tetapi tentu bukan larangan bahwa mereka tidak mendapatkan pendampingan atau tour guidance.

Kalau kita berhenti advokasi 5 siswa meninggal karena ‘larangan secara adat’ maka akan mematikan nilai nilai adat yang luhur itu sendiri dalam pemaknaannya. Dan jika fokus kita ke larangan itu sebagai alasan, maka sia sialah kematian 5 siswa, tidak ada pembelajaran. Apalagi didalam tewasnya 5 siswa dinyatakan media, 2 siswa sebenarnya mau menolong 3 siswa yang berenang. Namun karena kondisi justru tenggelam semua. Apakah tidak ada penghormatan untuk jiwa jiwa penolong dan volunterisme, sangat menambah sedih peristiwa ini tentunya kalau diam dan berlalu begitu saja tanpa pembelajaran.

Haruskah kita maknai ini dengan hanya kata ‘larangan’, ‘sudah pantas mereka mendapatkannya’, ‘dibilangin larangan tidak dengar’, tidak adakah sedikit pembelaan dan penghormatan buat siswa siswa yang meninggal ini.

Dalam berita disampaikan pemimpin Baduy sudah ada sosialisasi memperingatkan EO dan Sekolah. Lalu kenapa masih terjadi. Padahal sudah ada larangan keras yang disampaikan tokoh Baduy kepada pihak sekolah. Bukannya EO dan Sekolah harus lebih berhati hati, bagaimanapun mereka adalah para pendidik yang tahu perkembangan psikologis anak. Harusnya larangan itu menjadi SOP EO dan Sekolah di TKP peristiwa. Memiliki panduan secara tertulis kepada siswanya. Memiliki jadwal sebagai acuan pemandu dan pendamping di acara.

Jangan sampai masyarakat luas salah tafsir dari kejadian ini, menyalahkan adat kearifan lokal, padahal ada nilai nilai luhur yang sedang ingin disampaikan Baduy kepada mereka yang datang berwisata alam. Artinya hukum harus ditegakkan agar tidak ada penafsiran serampangan dan juga menjadi pembelajaran publik, terutama institusi pendidikan dalam melibatkan anak di area wisata.

Tentunya dalam kegiatan Study Tour setiap siswa dan orang tua harus membayar, artinya melekat profesionalitas, ada paket acara termasuk keselamatan para peserta. Artinya perlu di monev di uji kembali ada miss dimana, sehingga bisa jadi pembelajaran bersama.

Sebenarnya kejadian serupa sudah beberapa kali terjadi di sekolah tapi minim pembelajaran dan dampak secara sistem kepada kegiatan kegiatan pelibatan siswa didik di luar sekolah seperti jauh dari hukum. Seperti tidak ada efek jera dan dalam rangka tanggung jawab yang berdampak edukatif, sebagai lembaga yang membawa misi pendidikan dan punya tujuan luhur pendidikan.

Pembiaran siswa siswi meninggal dengan kegiatan luar sekolah juga dialami Paskibra Tanggerang yang beritanya viral kemarin. Bahkan selepas itu ada orang tua yang melapor juga tentang anaknya di Paskibra Tanggerang yang mengalami pecah gendang telinga. Kisah lain perploncoan masa orientasi pendidikan yang menyebabkan siswa meninggal, aksi demo pelajar di jam sekolah, dan sebagainya. Yang sampai sekarang lembaga pendidikan jauh dari konsekuensi, seperti tidak ada tanggung jawab secara hukum untuk masa depan generasi bangsa yang sedang jadi objek bisnis pendidikannya. Kita tidak pernah mendengar kisah kelanjutannya tentang sangsi atau pembelajaran ke sekolah. Di peristiwa peristiwa ini sekolah seperti jauh dari hukum.

Lain ceritanya ketika anak berprestasi dari sekolah. Mereka akan mengakui dan membesarkannya. Namun ketika tidak mengharumkan sekolah, Sekolah menutupnya rapat rapat, jauh dari tujuan sekolah yang mempunyai makna edukatif untuk siswa siswinya. Sampai kapan situasi batin sekolah di bayangi oleh hal hal seperti ini? Tentunya ini jadi PR besar Mendikbud yang baru.

Jadi ketika kematian siswa siswi di lembaga sekolah, dan tidak pernah ada pembelajaran yang sangat baik. Maka pembiaran ini dikhawatirkan terus terjadi. Dan itu sudah terbukti.

Jangan sampai ada anggapan kalau siswa siswi mengharumkan nama sekolah, semua menjadi penilaian. Namun ketika ada siswa siswa meninggal semua penilaian ditutup dengan mengatakan maaf ini musibah. Tidakkah perlu ada pembelajaran sebagai lembaga yang berdiri di area ilmu pendidik, kependidikan.

Kita berharap upaya mengambil pembelajaran ini dapat menenangkan arwah arwah para pelajar Indonesia yang menjadi korban dari Institusi Pendidikan.

Catatan Khusus,

Redaktur KBAI

Check Also

Caper Lo: Hilangnya Apresiasi Di Masa Remaja

Seringkali kita mendengar remaja kita, membully secara psikologis dengan sebaya, dengan kata Caper Lo!!!. Padahal …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *